Senin, 27 Mei 2013
Nasihat yang Baik dari Melancholic Bitch
Catatan Kecil Soal Perubahan
Selamat Pagi! Hari yang baru di Semarang. Sebuah jalan -jalan santai dengan keluarga besar Magna Cantifica. Dari Jakarta ke Semarang naik kereta.
Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir naik kereta. Stasiun Gambir menunjukan banyak kemajuan. Layar elektronik yang menunjukkan jadwal kedatangan, pembelian tiket yang sudah lebih teratur. Walaupun dulu tampak mustahil, akhirnya PT KAI berbenah. Berubah ke arah yang lebih baik.
Sering dengar "Tidak ada yang pasti. Yang pasti adalah perubahan"? Saya sedang bersiap menghadapi perubahan-perubahan hidup. Dari perubahan yang tidak signifikan sampai yang berubah banget -banget. Takut sih, tapi kan juga ga bisa dihindari. Harus dihadapi. Hehehe.
Oiya, beberapa hari yang lalu ke kampus ITB. Tidak terasa suda hampir 4tahun berlu sejak lulus. Waktu berjalan terlalu cepat ya. Sebagian diri saya sudah tidak sama seperti 4 tahun yang lalu. Kebanggaan saya akan kampis, nasionalisme saya, pandangan saya akan kebahagiaan dan kesuksesan. Tapi hal-hal lain ada yang tetap begitu saja. Prinsip hidup, cara menggalau, hahahaha.
Waktu pada akhirnya menunjukan, entah mau atau tidak, bahwa kita pasti berubah. Kadang mengetahui perubahan ada di depan mata membuat hati gentar. Apalagi kalau tahu perubahan ini lebih banyak efek negativenya. Dengan iman dan pengharapan, hidup akan menunjukan cara-cara untuk melewatinya. Tapi ya menurut saya sih cuma keliatan kalau pake iman.
Bagaimana iman saya akan hidup? Apakah saya siap menjalani dua tiga bulan ke depan? Saya masih mencoba menjawabnya dengan sejujur-jujurnya. Hahaha. Mungkin perjalanan pendek ke Semarang ini bisa sedikit membantu saya menemukan kode alam.
Happy weekend!
Minggu, 12 Mei 2013
Rinjani, Pelajaran Tentang Kesabaran
Trip naik gunung Rinjani. tadinya saya pikir ini adalah seperti trip-trip santai lainnya. Saya salah besar. Naik gunung itu bukan sekedar travelling. Naik gunung itu urusannya fisik dan mental. Belakangan saya baru tahu kalau gunung Rinjani itu adalah gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia. Jeng jeng. Jadi perjalanan ini, tanpa saya sadari, adalah sebuah ujian fisik dan mental terberat yang saya dapatkan tahun ini.
Si cantik Rinjadi dari titik awal pendakian |
Saya tidak akan bercerita soal bagaimana rute untuk naik gunung Rinjani seperti tulisan-tulisan travelling saya yang biasanya. Saya lebih ingin berbagi perasaan dan pemikiran saya setelah naik gunung Rinjani. Pengalaman 5 hari terakhir ini begitu menyentuh saya. Mungkin agak lebay, tapi sebagai anak pantai, naik gunung ini bener-bener sesuatu banget. Menurut kawan saya, paling seminggu setelah ini saya juga jadi biasa aja. Hahaha.
Ujian Fisik.
Rinjani adalah ujian fisik bagi siapapun yang ingin mencapai puncaknya. Tanjakan 45 derajat dengan tanah berupa pasir berbatu. Kalau kita naik tiga langkah, ndelosor turun satu langkah. Saya dengan fisik pas-pasan begini butuh TUJUH jam untuk bisa mencapai puncaknya.
Tanjakan naik menuju ke Puncak Rinjani |
Total perjalanan yang harus ditempuh dari naik sampai turun lagi itu sekitar 30 km. Sempat juga ada hari di mana saya tidak tidur sama sekali selama 24 jam dan 90% dari 24 jam itu dihabiskan dengan berjalan kaki. Bukan berjalan di jalan yang datar ya, tapi juga berbatu, berpasir dengan sudut kemiringan kadang-kadang sampai 90 derajat. GILA-GILAAN deh pokoknya. Tapi ya itu, ternyata kalau kita punya tekad dan urusannya adalah hidup atau mati, entah mengapa kita bisa dapat energi untuk melakukan hal paling ga masuk akal sekalipun. Contohnya? Manjat-manjat bukit batu di pinggir jurang sambil merangkak-merangkak bawa carrier jam 11 malam. Sampai malam ini saya masih terkagum-kagum dengan kemampuan badan saya bertahan sejauh itu.
Ujian Mental
Dari perjalanan ini, terutama ketika summit attack, itu adalah pertarungan di dalam diri saya sendiri. Perasaan ingin berhenti, ingin duduk saja, tidak sanggup melakukan apa pun versus gengsi untuk menaklukkan puncak Rinjani. Saya sempat menyerah. Saya cuma terduduk tidak berdaya. Saya sempat menangis karena sepertinya hanya saya seorang yang ketinggalan dan sepertinya tidak akan mampu sampai puncak.
Di tengah doa dan keputus-asaan, tiba-tiba ada seorang porter lewat sambil bilang : "Gunung Rinjani ini melatih kesabaran mbak. Mbak haru sabar." Jeng jeng. Ini seperti Tuhan membalas doa saya. Sabar. Itu kuncinya. Secapek apa pun, seberat apapun, semenyebalkan apapun, semua akan berlalu asal dikerjakan dengan sabar. Berbekal petuah sabar itu, satu jam kemudian saya berhasil sampai di puncak!
Finally! I'm the last of the group that reach the summit :D |
Saya sering mendengar bahwa di gunung, karakter asli seseorang akan keluar. Selama perjalanan pulang saya merenung, apa karakter asli saya? Si cengeng, tukang mengeluh, bawel, suka mau tau urusan orang, si heboh, drama queen? Saya juga mengamati karakter teman-teman satu tim saya. Dan saya belajar banyak dari mereka. BANYAK. Saya merasa malu karena kadang-kadang saya merasa sepertinya saya yang paling nyusahin di grup itu. Tapi apa pun itu, trip ini menambah daftar kawan-kawan baru saya. :)
Ini dia mereka :)
Argo : Meminjam istilahnya Rizka, ini orang kayaknya makan orok deh, atau malah sepeda apa ya? Speednya itu cepat sekali. Dia selalu berada paling depan dan sampai paling duluan. Dia motivator yang baik. Tidak bosan-bosan memberi semangat selama perjalanan ke puncak. Malah dia banyak memberi saya dorongan (beneran ini badan saya didorong sama Argo dari belakang) kalau speed saya menurun. Hahaha.
Avan : Saya ternyata satu kampung dengan Avan : Tulung Agung. Avan adalah si pintar yang ngejagain semua teman-temannya. Defaultnya, dia selalu ada paling belakang memastikan semuanya ok. Auranya aura yang menenangkan. Secapek-capeknya saya, kalau ada dia saya yakin saya bersama orang yang tepat. Cerdik dan pintar, keliatan banget pas musti bikin bivak waktu krisis tenda. PRAMUKA banget deh.
Dito : Protektif dan selalu memastikan semua orang aman. Kalau belum pingsan, dia ga akan berhenti ngasih pertolongan ke orang di sekitarnya. Dia juga pemberi semangat kalau kita semua udah drop karena kecapekan. Selain punya banyak fans di luar sana, doi jago masak nasi goreng loh. Salut dengan energi dan konsistensinya buang air secara teratur selama kita di Rinjani. Hahaha.
Fajrin : Satu-satunya perokok di rombongan ini. Orangnya santai agak-agak dodol. Bakat terpendamnya adalah bikin nutrijel pake kompor parafin. Setiap kali saya sewot dan marah-marah, orang ini pasti selalu menenangkan saya. Pembuka jalan dan sweeper favorit saya di trip ini. Karena obrolannya suka bego, kalau sama dia kerjanya ketawa melulu.
Larissa : The angel of the team. Gayanya cool, sedikit bicara banyak berbuat. Jarang mengeluh kecuali soal makanan dan soal boker. Hahaha. Larissa itu super care dengan sekelilingnya. Kita bisa makan enak dengan bahagia selama trip ini berkat Larissa. Secapek apapun, dia pasti dengan sabar akan masak dan nyiapin makanan buat kita semua. Pokoknya kita semua sepakat jadi fansnya Larissa deh. Hahaha.
Rizka : Idola anak-anak sipil ini adalah keren sekali. Saya suka gayanya, dan cariernya adalah yang paling enak dipake hehehe. Kita ga bakal tau apakah dia udah capek banget atau ada yang sakit atau gimana karena dia jarang ngeluh. Dia selalu menyemangati saya di saat saya uda mau nyerah. Satu kata-katanya yang saya ingat "Udahlah ga usah dipikirin beratnya, dijalanin aja juga nanti selesai." I do wish I can have such a chill point of view everytime I have a problem.
Rena : PANTANG MENYERAH! Rena adalah mood buster saya dan berjasa besar membuat saya bisa sampai ke puncak Rinjani. Sebagai sesama pasukan tepar, saya betul-betul mengagumi kemauan kerasnya untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Rena juga pembawa aura ceria di kelompok ini. Ada rena pasti rame dan banyak bahan obrolan :)
Vincent : Ibarat keluarga, kalau Rena ibu rumah tangga, maka Vincent itu bapak supirnya. *loh. Hahaha. Bercanda cent. :p* Vincent itu super perhatian. Secapek apa pun diam-diam dia care dengan teman-temannya. Contohnya ya ngingetin soal lampu senter yang makin redup dan sepertinya butuh ganti baterai, atau mencermati obrolan cewek-cewek di dalam tenda. Saya juga salut dengan ketegarannya menyelesaikan trip ini dalam kondisi lutut cedera. Bravo Vincent!
Ki - ka : Larissa - Dito - Avan - Argo - Fajrin - Rizka - Rena - Vincent - Gita |
Ya begitulah kira-kira.
Saya pulang dari Rinjani dengan banyak pertanyaan dan bahan renungan di kepala saya. Berada di gunung membuat saya bertanya-tanya: apa lagi yang ingin saya lakukan? Apakah kehidupan sekarang ini benar-benar yang saya inginkan? Atau apa? Perasaan galaunya lebih spiritual sih. Banyak momen meditatif yang saya rasakan di perjalanan ini. Jalan menelusuri padang savana atau menyusuri tebing pinggir danau itu memberi kamu banyak ruang untuk berdiskusi dengan alam, dan terlebih dengan sang Pencipta.
Photographed by Larissa Salaki |
Paling utama dan paling kena ya soal sabar itu. Sebagai orang yang ga sabaran dan gampang marah, saya cukup tertampar sih. Perjalanan ini mengingatkan saya untuk lebih bersabar dengan apa pun masalah yang saya hadapi. Seberat apa pun cobaan yang kita dapat, sabar memang kuncinya. Tebing seterjal apapun, tanjakan semiring apapun, jalan sejauh apapun, kalau sabar dijalanin ntar juga bakal terlalui.
Banyak pertanyaan plus masalah hidup di kepala saya yang kalau dipikir-pikir jawabannya adalah sabar. Contohnya, susah move on, ya sabar aja nunggu ganti yang baru. Hahaha. Tetep ya ke situ-situ lagi. :p
Besok sudah masuk kerja, kembali ke realita. Semoga besok saya bisa jadi orang yang lebih sabar dan juga lebih menyenangkan, ga garing, ga galak dan ga banyak gaya. AMIN!
Tiga Puluh Tujuh
Sepuluh tahun berlalu sejak tulisan ini Dan ternyata di ulang tahun ke tiga puluh tujuh ini, gw masih meminta hal yang sama. Semoga diberi k...
-
Nulis blog dengan judul ini agak kontradiktif ya. Kan yang udah kejadian di Bali harusnya tetap tinggal di Bali. Kalo ditulis, jadinya ga ...
-
http://www.youtube.com/watch?v=9-q58A5zZos There's a lot of things I understand And there's a lot of things that I don't wa...
-
Perasaan kemarin masih 14 bulan lagi menuju tanggal pernikahan. Lalu tiba-tiba sudah tujuh bulan berlalu. Minggu lalu pulang ke Jakarta u...