Minggu, 15 Desember 2013

Ketika 'Faith in Humanity Restored' (cerita tentang Festival Gerakan Indonesia Mengajar)

Saya yakin saya tidak sendiri. Generasi usia dua puluhan yang menikmati hidup di level maksimal. Yang punya banyak mimpi jalan-jalan ke luar negri, atau senang menghabiskan akhir pekan dengan jajan di tempat kuliner yang sedang ramai dibicarakan, atau sekedar diam di rumah rally nonton DVD serial populer. Yang memilih sibuk bekerja, meniti jenjang karir, menjadi yang terbaik, kerja keras, menabung demi masa depan. Yang terlalu lelah membaca berita dan menonton televisi karena isinya hanya seputar gosip, korupsi dan bencana. Yang memilih menjadi apatis.

Saya pikir semua orang ada bagiannya masing-masing. Yang idealis silakan menjadi idealis. Yang mau berpolitik silakan berkoar-koar. Yang nyinyir, silakan memaki-maki di media sosial. Yang mau cuek silakan juga, harus ada orang yang cuek supaya orang yang peduli terasa keberadaannya.

Lagi pula kalau berbicara soal bangsa negara, ujung-ujungnya ke masalah politik yang penuh dengan korupsi dan manipulasi. Melelahkan. Kebaikan untuk kepentingan publik sepertinya hampir tidak ada sama sekali. Figur pemimpin yang tidak menginspirasi, kasus korupsi di mana, mana, sekali kalinya ada hal baik eh ternyata ditunggangi kepentingan politik. Bantuan-bantuan atas nama tokoh tertentu, gerakan-gerakan yang ujung-ujungnya untuk tujuan tertentu. Melelahkan dan menyebalkan.

Semakin ke sini keadaan semakin buruk. Saya sempat berpikir bangsa Indonesia ini mungkin sudah sebegitu terpuruknya dan rasanya masa depannya suram sekali.  Saya cinta kok sama Indonesia. Tapi sepertinya tidak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya. Menikmati hidup dengan jadi manusia baik yang tidak menyusahkan adalah usaha terbaik saya untuk memperbaiki negara ini. Cukupkah? Pastinya tidak, tapi ya sudahlah ya. Kan saya apatis.

Itu adalah saya tiga bulan yang lalu. Kalau sekarang? Saya memutuskan untuk berhenti menjadi apatis. Ini gara-gara saya ikut Festival Gerakan Indonesia Mengajar bulan Oktober lalu.

Jadi saya punya sahabat bernama Nagea yang sudah sering berkegiatan  bersama komunitas Indonesia Mengajar. Tahun ini mereka mengadakan acara Festival Gerakan Indonesia Mengajar (FGIM), sebuah kegiatan dua hari berupa kerja bakti bersama membuat alat bantu belajar untuk sekolah-sekolah yang ada di pelosok dengan akses informasi terbatas. Hasil dari dua hari kegiatan ini bermacam-macam. Mulai dari ensiklopedia, alat peraga sains, video profesi, video dongeng, video lagu anak dan lagu nasional, surat semangat dan paket buku-buku bacaan. Semuanya ini lalu dikirimkan ke sekolah-sekolah yang merupakan tempat relawan Pengajar Muda bertugas. Pengajar Muda sendiri adalah relawan program Indonesia Mengajar, program menjadi sukarelawan untuk mengajar di sekolah terpencil selama satu tahun.

Sekilas nampak seperti kegiatan yang sangat bagus, bermanfaat dan sangat menarik bukan? Nagea sudah mengajak saya berkali-kali untuk ikut serta sejak tengah tahun. Tapi saya yang apatis cuma memberikan seribu satu alasan untuk bilang tidak. Selain karena merasa kegiatan ini ada unsur kepentingan politiknya, saya malas saja. Hahaha.

Nah, Nagea ini kan sahabat saya dari kuliah yang seingat saya bukan tipe aktivis kampus dan bukan juga yang punya nasionalisme tinggi gitu. Sebagai panitia, menjelang hari H FGIM Nagea terlihat sangat bersemangat sekaligus pusing memikirkan teknis ini itu. Tapi bukan itu yang membuat saya heran, melainkan postingannya di media sosial mulai sedikit menjadi sangat nasionalis dan berwawasan kebangsaan. Hahaha. Sesuatu yang tidak saya sangka bisa keluar dari seorang Nagea. Nagea adalah gadis normal yang punya banyak penggemar dan sibuk memikirkan masalah hati atau mimpi punya pabrik coklat, kenapa bisa jadi begini? Hahaha.

Penasaran saya bertambah lagi ketika kemudian Nagea berhasil mengajak Dias, temannya yang juga teman saya, untuk membantu timnya di FGIM. Bayangkan Dias sebagai eksekutif muda penampilan necis dan waktu pas kuliah dulu, dia itu teman saya facial ke n**sha! Saya tidak pernah menyangka Dias ini bisa nyemplung di kegiatan semacam FGIM.

Akhirnya seminggu sebelum hari H, saya bilang ke Nagea untuk bersedia membantu di FGIM. Nagea adalah koordinator wahana Surat Semangat, jadi saya ikut bantu-bantu di wahana Surat Semangat. Dan setelah delapan hari bekerja bersama di lingkungan panitia FGIM ini, saya jadi paham betul kenapa Nagea dan Dias bisa jadi begini. Auranya positif sekali. Sangat positif. Tim Surat Semangat terdiri dari bermacam-macam orang, mulai dari mahasiswa gahul kocak, penyanyi ganteng, muda mudi galau sampai tante-tante hepi. Ok, ini definisinya mungkin agak lebay. Hahaha. Intinya, ini semacam mengumpulkan semua orang baik jadi satu (dan ternyata orang baik itu bentuknya macam-macam yes) dan ketika ini terjadi, ide apa saja bisa jadi kenyataan!

Ketika hari H, pengalamannya lebih luar biasa lagi. Saya bertemu rombongan anak seri rupa dengan pensil warna dan crayonnya, keluarga kecil yang membawa serta anak-anaknya, oma-oma yang harus pakai kursi roda, anak jakarta gaul dengan model rambut masa kini, anak band yang gaul betul, teman SMA saya yang dulunya anak dance nan gaul, mantan pacar saya yang gondrong dengan jins belel yang dulu kerjanya ngerokok dan minum doang, teman kantor saya orang finance yang bawel kalo soal uang-uangan, teman kuliah saya yang sekarang kerja di oil company asing dan dia datang membawa surat dari teman-teman kantornya! Terlalu banyak jenis orang di acara ini dan mereka datang ke sini dengan satu tujuan : mau membantu memperbaiki pendidikan Indonesia :)

Tim Wahana Surat Semangat

Saya adalah orang yang suka membuat stereotype. FGIM telah mematahkan semua stereotype yang pernah saya buat tentang orang-orang di sekitar saya. Bahwasanya setiap orang pastinya memiliki keinginan untuk berbuat baik terhadap sesama. Mungkin sudah dilakukan tapi saya tidak tahu, atau mungkin belum dilakukan karena tidak tahu harus ke mana dan FGIM adalah wahana yang tepat untuk menyalurkan kebaikan itu.

Singkat cerita, setelah FGIM berlalu, saya sempat berdiskusi dengan Nagea, Ais yang juga ikut membantu di Surat Semangat dan Dika, ex Pengajar Muda yang juga salah satu bosnya FGIM. Kita berdiskusi tentang dampak dari FGIM ini dan bagi saya yang sudah beberapa tahun jadi apatis, FGIM telah mencairkan keapatisan saya. Well, saya masih percaya sih apa pun yang terkait Indonesia Mengajar berpotensi ditunggangi kepentingan politik. Tapi sekarang saya tidak terlalu peduli lagi. Indonesia masih punya banyak orang baik, dan bila kebaikan itu dikumpulkan, perubahan sangat mungkin terjadi.

Oiya, soal Wahana Surat Semangat, jadi ini wahana untuk orang-orang mengirimkan surat kepada murid dan guru di sekolah terpencil. Sampai saat ini sudah ada surat yang dibalas loh :)

salah satu surat dari relawan FGIM :)
Surat yang sudah dibalas!

Nagea dan Dias telah menginspirasi dan menggerakan saya untuk kembali mau berpikir dan berbuat untuk kepentingan orang banyak. Saya pun juga harus bisa menginspirasi orang lain. Bila setiap orang baik bisa menginspirasi orang lain untuk berbuat kebaikan demi kepentingan bersama, tentu Indonesia bisa jadi lebih baik. Dan memang benarlah adanya pepatah "Mulai dari sekarang, mulai dari diri sendiri!" Saat ini saya sudah punya beberapa hal di kepala mengenai membuat Indonesia bisa jadi lebih baik. Semoga ini bukan sementara, dan semoga benar ada kelanjutannya.

Kesimpulannya?
Faith in humanity : Restored!

[ ]

Selasa, 03 Desember 2013

Buat Ning




Pasti datangkah semua yang ditunggu
Detik detik berjajar pada mistar yang panjang
Barangkali tanpa salam terlebih dahulu
Januari berjajar di tembok itu jua
Lalu Desember..
Musim pun masak sebelum menyala cakrawala
Tiba-tiba kita bergegas pada jemputan itu

Sapardi Djoko Damono

Tiga Puluh Tujuh

Sepuluh tahun berlalu sejak tulisan ini Dan ternyata di ulang tahun ke tiga puluh tujuh ini, gw masih meminta hal yang sama. Semoga diberi k...