Selasa, 25 November 2014

Dua Hari Satu Malam di Tanah Toraja

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali! November tahun lalu saya mendapat rejeki jalan-jalan ke Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Dibuka dengan dua hari di Tanjung Bira yang serunya lumayan absurd hahaha, dilanjutkan dengan jalan-jalan ke Maros hari ketiga (ini ceritanya belum saya tulis, sabar yak :p), hari ke empat dan ke lima adalah spesial untuk Toraja!

Saya semangat sekali pergi ke Toraja ini. Toraja termasuk salah satu tempat yang ingin saya datangi sejak dari kecil. Alasannya? Gara-gara baca cerita tentang kuburannya di majalah Bobo waktu saya SD. Hehehe, maklum anaknya emang suka agak klenik.

Toraja terletak di sebelah utara kota Makassar, sekitar 6-7 jam perjalanan darat.


Ini ceritanya saya uda lupa hari ketiga itu hari apa yah haha, jadi saya Inu Zulfi dan Tendy pergi ke Toraja hari ketiga malam sehingga bisa sampai ke Rantepao, kota besar paling dekat dengan Toraja, hari ke empat pagi. Sebenarnya kalau mau bisa saja ambil jalan siang sehingga bisa menikmati pemandangan yang katanya bagus banget sepanjang perjalanan, tapi karena waktu yang terbatas, kita putuskan untuk jalan malam saja. Hemat waktu dan hemat penginapan hahaha. Lumayan dua malam bermalam di bus kan jadinya.

Bintang Prima si bus malam nyaman
Kita berangkat dari pul bus Bintang Prima yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan KM 12. Tepat waktu, kita menunggu kira-kira setengah jam sebelum akhirnya bis berangkat. Bisnya nyaman banget, ngalahin bis Super Eksekutifnya Harapan Jaya. Hahaha. Harga tiketnya kalo ga salah 180 ribu, tapi sungguh nyaman sekali. tempat duduknya empuk, selimutnya tebal, ada gulingnya pulak. Dan kita dapat tempat duduk paling belakang, jadi bisa jejer berempat, lumayan bisa pillow talk dulu sebelum bobo (baca : curhat hahaha). Saya tidur kayak bayi, bangun-bangun eh udah nyampe aja

Kita sampai di Rantepao sekitar jam 6 pagi. Waktu kita turun, sudah banyak orang yang menawarkan kendaraan atau penginapan. Kebetulan Zulfi punya teman sekantor yang asli orang Toraja. Teman kantor Zulfi ini memberikan rekomendasi guide, namanya Pak Yatim. Pak Yatim ini memanggil Zulfi dengan sebutan Pak Jusi. Tidak peduli seberapa sering kita membenarkan penyebutan nama Zulfi, sampai ketika kami sudah kembali ke Jakarta pun, melalui pesan singkat di telpon seluler, Pak Yatim tetap memanggil Zulfi dengan Pak Jusi! Hahahaha.

Pak Yatim sedang menceritakan sejarah suk
Pak Yatim ini termasuk salah satu guide senior di Toraja, bukan hanya jadi guide, beliau juga menyediakan transportasi untuk kita ber-empat berupa mobil kijang Inova lengkap dengan supir dan bensin. Bener-bener turis mode : ON banget lah ini. Mahal? Yah tentu saja. Kalau mau ala backpacker di sini bisa banget. Bisa sewa motor dan jalan sendiri ke spot-spotnya, tapi karena tempatnya itu jauh-jauh jadi lebih banyak makan waktu, belum termasuk nyasar-nyasarnya. Kalau cuma punya waktu sebentar di Toraja, pake servis guide mungkin jauh lebih efektif.

Tujuan pertama setelah dijemput oleh Pak Yatim adalah ke penginapan tempat kita akan bobo nanti malam, yaitu Pia's Poppies



Pia's Poppies ini termasuk salah satu guesthouse yang paling populer. Tadinya kita memesan untuk dua kamar, tetapi ketika kita datang yang tersedia adalah satu kamar untuk tiga orang. Setelah melihat kamarnya, ternyata cukup besar. Diputuskan, dua tempat tidur ditempel jadi satu, itulah tempat Tendy Inu Zulfi tidur. Saya mendapatkan kenyamanan tidur sendiri di satu tempat tidur di pojokan. Pia's Poppies ini pembayarannya per kamar per orang. jatohnya jadi sekitar 66k - 99k IDR, tergantung 1 kamar diisi oleh berapa orang.

Setelah membereskan urusan penginapan, kami sarapan dulu karena kelaparan. Pak Yatim membawa kami ke sebuah rumah makan khas Toraja, namanya Riman. Restoran ini menjual kopi Toraja juga.


 Sambil sarapan, Pak Yatim bercerita tentang sejarah suku Toraja dan tentang kepercayaan asli Toraja, yaitu Aluk To Dolo. Saya langsung bertanya tentang kemistikan Toraja, tentang mayat yang bisa berjalan sendiri. Menurut pak Yatim, "magic" itu ada karena kepercaraan dari para manuisa itu sendiri. Semakin sedikit yang percaya, maka "magic" itu makin lama ya memdar. Hmmm..

Dua hari di Toraja itu KURANG! Karena waktu yang terbatas, Pak Yatim hanya membawa kita ke tempat yang benar-benar paling OK menrut dia.

Ada segini banyak spot wisata di Toraja, dua hari mana cukuuuuup!
Tujuan pertama kami hari ini adalah kuburan bernama Lokomata. Butuh sekitar 40 menit untuk menuju ke sana. Sepanjang perjalanan kita disuguhi pemandangan alam yang indah. Sejuk dan damai. Terkadang di pinggir jalan kita menemui kuburan baru di bukit batu pinggir jalan.

Beuatiful scenery of Toraja
Tapi yang paling unik adalah ketika kita melewati sebuah lapangan di mana ada kulit kerbau yang sedang dijemur. Itu BESAR BANGET. Ya namanya juga ga pernah liat yang kayak gitu ya, kita langsung minta turun dan foto-foto di situ. Hahaha.

Kulit kerbau dijemur
Sesi foto berakhir ketika tiba-tiba anjing penjaga lapangannya mulai ga santai dan menggonggong ke arah kita. Ternyata pada takut anjing. Okesip. Saya engga sih tapinya. Oke, dikit. Hahaha.

Di sepanjang jalan di dekat kuburan kita juga kadang kita melihat ada rumah adat Toraja kecil di pinggir jalan atau di dekat makam batu pinggir jalan yang kita lewati. Namanya Erong, semacam keranda versi Toraja. Nah, menurut adat Toraja, Erong ini akan ditinggal di depan makam yang bersangkutan, bersama dengan barang-barang yang bersangkutan dengan almarhum yang meninggal.

Kubur Batu di pinggir jalan dan salah satu erong yang masih utuh di dekat mulut kubur.
Lokomata

Akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan pertama : Lokomata, secara harafiah artinya adalah batu yang memiliki banyak lubang atau mata. Maksud dari lubang atau mata, ya kuburan Toraja itu sendiri.

Lokomata ini terkenal karena merupakan salah satu batu alami terbesar yang bisa memuat begitu banyak orang di dalam dekapannya.

Kuburan batu Lokomata. Batu dengan banyak "mata"

Jejeran Erong

Kira-kira sebesar ini kuburan batunya kalo dibandingin sama Inu 
Batu Tumonga

Setelah puas berfoto-foto di sini, perjalanan dilanjutkan ke Batu Tumonga,  tepatnya ke sebuah restoran bernama Mentirotiku, Toraja. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan di sini. Pertama, menikmati kabupaten Toraja dari puncak bukit. Bagi saya, pemandangannya agak-agak sureal. Jejeran awan, gunung dan pohon dengan corak yang abstrak.

Pemandangan dari Mentikoroti

Kedua, kita bisa melihat kerbau Toraja dari dekat. Ukurannya memang fantastis dan dia sedang sedang dimandikan. Kerbau ini nilainya seharga mobil avanza.


Ketiga melihat aneka ragam ukiran khas Toraja yang diambil dari dinding Tongkonan yang sudah dibongkar. Ukiran - ukiran ini disimpan di sebuah gudang dan memiliki berbagai macam arti. Yang paling saya suka adalah ukiran Tangke Lumu atau Tangkai Lumut, kalau di gambar di bawah ini yang bentuknya muter-muter kayak ombak. Arti ukiran ini adalah bahwa keluarga itu sama seperti lumut, selalu bersama-sama, tidak pernah terpisah. kalau diperhatikan, ukiran lumut ini memang sambung - menyambung.

Macam macam ukiran Tongkonan



Keempat, melihat beberapa bangunan Tongkonan yang atapnya masih menggunakan bambu, bukan seng seperti yang kebanyakan ditemui di sepanjang jalan Toraja.

Tongkonan atap bambu
Kampung Adat Bori

Dari Batu Tumonga, kita menuju ke Bori, kampung adat yang terkenal dengan taman megalitikumnya. Kampung Bori adalah salah satu warisan budaya megalitikum di Indonesia.

Susunan batu megalitikum di kampung Bori
Batu - batu ini berfungsi sebagai salah satu sarana pelaksanaan pesta adat di kampung tersebut. Ini kalau ga salah ya, kalau salah mohon maaf dulu, begini nih ceritanya. Jadi  ketika ada acara adat, kerbau yang akan dikorbankan diikat di salah satu batu, tergantung dari tingkatan kastanya.

Di kampung Bori ini, kita juga bisa melihat Tongkonan yang punya tanduk kerbau yang tinggi sekali, saking tingginya untuk bisa dapet semua tanduknya dalam satu frame harus difoto dari bawah sambil tiduran. Hehehe. Oh iya, di sini juga ada patung kerbau albino yang cukup besar loh. Patung ini dibuat untuk memperingati sebuah pesat adat yang pernah diadakan di kampung ini dan ketika pesta tersebut, keluarga yang merayakan menyembelih kerbau albino sebesar patung tersebut.

Desa Adat Sadan

Dari Kampung Bori, kita menuju ke tujuan terakhir kita hari itu yakni Desa Adat Sadan. Desa ini juga terkenal sebagai desa tenun. Di sini kita bisa melihat langsung proses produksi kain tenun khas Toraja. Sayangnya waktu itu saya sedang bokek luar biasa, sehingga cuma lihat-lihat dan pegang-pegang saja, tidak berani nanya harga, takut sakit hati. Hahaha

Jejeran kain tenun khas Toraja
Selain bisa melihat kain tenun, di desa adat Sadan terdapat jejeran rumah Tongkonan yang asri di tepi sungai. Kami menghabiskan sekitar hampir satu jam untuk berfoto, menikmati pemandangan dan matahari tenggelam dengan duduk duduk di bawah lumbung padi.

Desa adat Sadan di tepi sawah
Ada cerita rakyat yang menarik yang diceritakan pak Yatim kepada kami sore itu. Kalau diperhatikan, lumbung padi yang terletak di seberang tongkonan itu, pondasinya selalu terbuat dari pohon aren. Ini ada alasannya. Jadi dulu, manusia itu bisa mengerti bahasa binatang. Suatu hari ada seorang petani yang sedang mencari kayu di hutan. Dia tidak sengaja mendengar percakapan dari tikus tanah. Tikus itu bercerita bahwa badannya luka luka terkena duri dari pohon aren. Melihat hal tersebut, raja tikus memutuskan untuk melarang tikus tikus lainnya memanjat pohon aren supaya tidak terluka. Mendengar hal itu, petani itu lalu menceritakan kepada teman petani yang lain. Sejak saat itu, tiang tiang lumbung terbuat dar pohon aren supaya tidak ada tikus yang bisa memanjat dan memakan hasil panen.

Cafe Aras

Hari pertama akhirnya selesai sudah. Pak yatim mengajak kami ke sebuah tempat hip namanya Cafe Aras. Cafe ini cafe modern, makanannya juga makanan western. Harganya sih harga jakarta, agak mahal tapi memang konsepnya konsep bule. Kalau memang ingin bertualang mencari makanan khas toraja, ya jangan ke sini hehehe.


Setelah makan malam, kami mencari toko souvenir dan toko kopi. Pada mau beli kopi toraja yang terkenal itu. Banyak warung yang menjual kopi Toraja di Rantepao jadi tidak perlu khawatir.

HARI KEDUA

Pasar Bolu, Pasar Hewan Toraja

Kami cukup beruntung karena di hari kedua kami berada di Toraja bertepatan dengan hari diadakannya pasar Hewan. Seperti namanya, pasar ini isinya adalah orang-orang berjualan hewan. Pasar ini hanya buka tujuh hari sekali. Biasanya orang-orang dari seluruh daerah akan datang ke sini untuk menjual hewan peliharannya. Yang paling mencolok : babi dan kerbau. Satu lapangan isinya babi dan kerbau. Hahaha.

Kerbau, kerbau's everywhere
Babi, babi's everywhere
Pasar hewan ini ga recommended kalau orangnya ga suka jorok dan ga suka bau, hehehe. Tapi kalau ingin mengenal dan mengalami kebudayaan Toraja, pasar ini sangat menarik. Kita bisa melihat tawar menawar kerbau seharga mobil, dan bagaimana orang orang Toraja ini mengorganisir pasar hewan ini tanpa kegaduhan, padahal itu kerbau ada di mana mana. Hehehe.

Kami juga sempat diajak menelusuri pasar tradisionalnya. Kopi Toraja dijual di mana-mana. Wangi kopi dan rempah-rempah sangat tajam sepanjang jalan, membuat saya senang tanpa alasan. Hehehe.

Kopi Toraja
Upacara Adat Kematian di Nanggala

Keberuntungan masih  berpihak pada kami. Hari itu juga sedang diadakan upacara kematian di desa Nanggala. Setelah menghabiskan sekitar hampir 2 jam di pasar hewan, kami menuju ke Nanggala.
Pesta adat kematian di Toraja tidak serta merta diadakan ketika ada anggota keluarga yang meninggal, tetapi tergantung kesiapan keluarganya. 

Upacara kematian  Toraja cukup rumit dan ramai. Orang yang datang harus mengisi daftar hadir terlebih dahulu dan duduk di tempat yang telah ditentukan tergantung hubungan keluarganya. Keluarga dekat duduk di tempat khusus, keluarga yang lebih jauh hubungannya dipersilakan duduk di tempat tempat yang lebih kecil, yang sudah diberi nomor supaya tidak salah. Di acara yang kami datangi, nomor tempatnya itu mencapai enam puluhan, dan satu tempat itu bisa berisi sampai 10 orang. Jadi bayangkan saja berapa banyak orang yang ada di acara ini.



Kami tidak menghadiri acara sampai selesai. Acara dibuka dengan para keluarga inti yang sudah menggunakan baju adat datang dan menjemput para keluarga dekat, berjalan mengitari area upacara, lalu duduk di tempat yang sudah disediakan. Kemudian sekumpulan wanita dengan pakaian adat melayani seluruh undangan dengan menyajikan kue kue dan minuman. Cucu cucu dari keluarga inti mengenakan baju khas Toraja menyambut para tamu. 

Mengantar makanan untuk para tamu

Tak lama setelah itu, pemimpin upacara memulai acara dengan berdoa dan menceritakan hakikat kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal, dengan bahasa toraja tentunya. Kemudia kerbaunya tidak disembelih dengan cara orang jawa, tapi ditebas lehernya ketika kerbaunya sedang berdiri santai. Serem.

cukup sekali melihat yang kayak gini :(
Dan setelah adegan horor ini, saya minta pulang hehe. Ga berani liat kelanjutannya. 

Oh iya, setelah prosesi pemotongan kerbau ini, petugas upacara menghitung dan membacakan babi yang telah dibawa ke upacara. Akan disebutkan dengan pengeras suara babi yang ini berasal dari keluarga mana. Ada ratusan babi di arena upacara ini. Jadi kebiasaannya adalah keluarga yang datang akan membawa babi atau kerbau, lalu nanti ketika keluarga ini mengadakan upacara kematian, keluarga yang telah diberikan babi akan balas datang dan membawa babi. 

Kete' Kesu

Pemberhentian selanjutnya adalah salah satu tujuan wisata paling terkenal di Toraja. Kete' Kesu. Di Kete' Kesu, kita bisa melihat Tongkonan yang usianya ratusan tahun. Tongkonan ini terbuat dari kayu dan bambu. Karena atapnya terbuat dari bambu, tumbuhan paku-pakuan tumbuh subur di atasnya.

jejeran tongkonan di kete' kesu
Di sini kita juga bisa masuk ke dalam salah satu rumahnya dan melihat bagian dalamnya. Ada dapur, ada ruang tidur dan ada ruang untuk menerima tamu. Sungguh luar biasa kalau dibayangkan bagaimana nenek moyang dulu bisa hidup dengan keterbatasan ruang seperti ini ya.

dapur di sisi samping rumah. Bagian bawah untuk memasak, bagian atas untuk menyimpan bahan makanan
Selain jejeran Tongkonan purba, di Kete' Kesu kita juga bisa melihat kuburan gantung. Tidak seperti kuburan kemarin di mana mayatnya disimpan di dalam batu, kuburan gantung ini lebih kuno, berasa dari leluhur yang lebih purba. Jadi petinya diletakan saja di sekitar batu, atau ditaruh di atas palang palang yang ditancapkan ke batu, jadi menggantung di atas batu. Satu peti itu bisa berisi lebih dari satu mayat, sehingga beberapa peti yang kelebihan muatan ada yang jatuh dan isinya berserakan.

Kuburan gantung kete' kesu
Coba deh perhatikan ukiran di peti kayunya. Rasanya  menakjubkan sekali bagaimana orang dulu bisa membuat peti seperti ini dengan keterbatasan alat pertukangan. Bagi saya ini adalah tempat yang paling mistik, hehehe. Kalau boleh memberi warna, tempat ini warnanya abu-abu. Seperti ada banyak orang padahal sepi. Semoga mereka beristirahat dengan tenang.

Kambira

Dari kete kesu, kami berhenti untuk makan siang di salah satu restoran cukup mahal yang saya tidak ingat namanya karena mahal dan ga enak enak amat. Kalau sama Pak Yatim ini memang dibawanya ke tempat mahal deh kalo makan x(

Tujuan selanjutnya adalah kuburan anak Kambira. Kuburan ini letaknya bukan di dalam batu, tetapi di dalam pohon. Menurut kepercayaan orang Toraja, bayi yang meninggal di bawah umur tiga hari harus dikuburkan di dalam pohon. Bayi yang berasal dari getah putih (sperma) akan kembali lagi ke getah putih (getah pohon), menyatu dengan pohon untuk tumbuh ke atas dan kembali ke atas.

Kuburan anak Kambira

Royal Grave Sangngalla'

Dan tempat terakhir yang kami kunjungi hari itu adalah The Royal Grave Sangngalla'. Royal Grave terletak di sisi sebuah tebing curam yang cukup tinggi. Dinamakan Royal Grave karena di tempat ini banyak terdapat makan para bangsawan. Hal ini tergambar dari banyaknya patung patung yang diletakkan di muka pintu kubur.

The Royal Grave
Sayangnya ada beberapa patung yang tidak utuh atau ada beberapa tempat yang kosong, tidak ada bonekanya. Ini adalah ulah pencuri yang mengambil patung patung ini untuk dijual di pasar gelap. Peminatnya biasanya adalah para kolektor barang antik.

Karena hujan tiba tiba turun lebat sekali ketika kami sampai ke sini, kami tidak berlama-lama di tempat ini. Selain itu hari sudah semakin sore. Kami akan kembali lagi ke Makassar malam itu juga. Besok malamnya, saya Inu dan Zulfi akan kembali lagi ke Jakarta.

Kami kembali menggunakan bis malam tapi dengan merek yang berbeda. Saya lupa namanya, tapi pul busnya ada tepat di samping Cafe Aras. Jadi kami bisa makan malam terlebih dahulu di cafe Aras.


Fun Fact

1. Agama asli orang Toraja namanya Aluk To Dolo. Saya pernah baca bahwa pemerintah menggolongkan agama ini sebagai bagian dari Hindu (?). Terlepas dari itu, mayoritas ornag Toraja memeluk agama Kristen atau katolik

2. Menurut legenda, orang Toraja dulu menggunakan manusia sebagai korban untuk upacara adat, sampai suatu hari Tuhan menyuruh untuk berhenti mengorbankan sesama manusia dan memberikan kerbau albino sebagai gantinya. Kerbau albino ini hanya bisa ditemukan di Toraja dan menurut pak Yatim belum ada yang berhasil mengembang biakan kerbau ini di luar Toraja

3. Kopi Toraja dapat dibeli di warung-warung kopi di kota. Harganya katanya sih murah. Saya tidak minum kopi, jadi kurang begitu paham.

4. Saya mengirim kartu pos dari Toraja ke Jakarta. Dengan prangko IDR 10k, butuh 2 bulan untuk sampai dengan selamat.

5. Waktu yang paling baik untuk berkunjung ke Toraja adalah bulan Desember karena ada festival namanya"Lovely December". Bulan Desember ini para perantau akan kembali ke Toraja untuk merayakan Natal dan tahun baru.

6. Toraja adalah suku yang sangat mengutamakan keluarga. Patung di setiap kuburan memiliki pose / gestur tangan yang sama, memiliki arti "Respect me and I will bless you". Artinya kita harus menghormati para leluhur kita karena berkat merekalah kita bisa ada di dunia ini. Kelak para leluhur akan memberkati kita dengan rejeki yang berkecukupan



Dan sekianlah catatan perjalanan saya, Inu, Zulfi dan Tendi ke Toraja. Horai!

Budgetnya cukup mahal karena kali ini kita pakai guide profesional dan mobil mewah beserta sopir. Satu hari sekitar satu juta untuk guide plus transport. Dibagi empat karena kita cuma berempat, dan itu belum termasuk makan, penginapan, belanja dan oleh oleh. Tapi memang sebanding dengan informasi dan cerita mengenai adat istiadat Toraja dari pak Yatim ini. Dia sangat profesional dan berpengalaman.

Bila mau berhemat, leih baik sewa motor dan keliling sendiri menjelajahi Toraja dengan berbekal peta ala dora hehehe tapi tentu tidak cukup dua hari satu malam :)

Semoga bermanfaat dan sampai jumpa di catatan perjalanan lainnya yes :D


Rabu, 03 September 2014

Catatan Perjalanan Sumba : Hari Pertama yang Penuh Kejutan


Yak akhirnya setelah mengumpulkan niat dan kemauan, hahaha, ini dia cerita perjalanan ke Pulau Sumba akhir Mei lalu :D



Pulau Sumba terletak di selatan Pulau Flores, masuk di dalam provinsi Nusa Tenggara Timur. Nusa berasal dari bahasa San Sekerta artinya pulau. Jadi Nusa Tenggara Timur secara harafiah artinya adalah pulau yang terletak di bagian Tenggara Timur. Ada tiga pulau besar yang termasuk dalam provinsi NTT, yaitu pulau Flores, pulau Sumba dan pulau Timor bagian Barat, karena bagian timurnya sudah jadi negara Timor Leste.

Keputusan untuk berlibur ke Pulau Sumba muncul ketika bulan November 2012, saya bersama Inu, Sapri, Bita berlibur ke Flores dan mendapat cerita tentang keindahan pulau Sumba. Sekitar pertengahan 2013 tiket PP Jakarta Denpasar dibeli dengan harga promo (thanks Inu si jago hunting tiket murah), namun baru sekitar bulan April kita mempersiapkan trip ini, termasuk membeli tiket berangkat Denpasar Tambolaka dan pulang vira Waingapu. Sumba memliki dua bandara, satu di bagian timur, satu di bagian barat. Kita akan menjelajah pulau Sumba dari barat ke timur.

Awalnya kita berniat memakai jasa @backpackseru dengan budget per orang sekitar IDR 3.5 mio. Namun karena Sapri tiba-tiba mundur dari trip  karena kesibukan kerjanya (hiks hiks why Sapri why), maka harga naik menjadi 4 jutaan. H- 2 minggu setelah browsing sana browsing sini, akhirnya kita memutuskan untuk mengatur trip kita sendiri dengan berbekal itinerary yang ditawarkan @backpackseru. Jatohnya lebih murah, per orang jadi sekitar IDR 2.6 mio untuk penginapan dan sewa mobil. Ditambah biaya makan dan tips ke guide, ya seorang kenanya 3 jutaanlah.

Lama perjalanan kita kali ini adalah 5 hari 4 malam. Harusnya sih 6 hari 5 malam, tapi Inu ga dapet cuti ( why Inu why..), akhirnya saya dan Bita menghabiskan sisa satu malamnya lagi di Denpasar. Dan karena pesawat baliknya adalah rute Denpasar - Bandung, satu malam lagi dihabiskan di Bandung. Total liburannya jadi 7 hari 6 malam .Hihihi.

Hari Pertama : Newa Sumba Resort, Bondo Kapumbu dan Pantai Mananga Aba

Hari pertama resmi dimulai ketika akhirnya kita mendarat di bandar udara Tambolaka. Bandara sederhana di bagian Timur Sumba.
selfie sekaligus ngetes tongsis

Bandara Tambolaka, Photo by Inu
Kami akan menginap selama 2 malam di Newa Sumba Resort dan resort ini menyediakan jasa penjemputan di Bandara. Untuk transportasi selama 3 hari di sekitar Tambolaka, kita menyewa mobil dan untuk pemesanannya dapat dibantu oleh pihak Newa Sumba Resort ini. Harga kamar per malam termasuk extrabed sekitar 800-900an, sedangkan ongkos sewa mobilnya 500an per hari.

Dan ternyata, Sumba ini jauh lebih terpencil dibandingkan Maumere apalagi Labuan Bajo. Sinyal langsung timbul tenggelam begitu meninggalkan area bandara, dan perjalanan ke resortnya itu lumayan jauh dari bandara. Jalan yang sepi, kiri kanan hutan kering, kalau malam tidak ada lampu, hahaha. Resortnya sendiri terletak di pinggir pantai.


Kita sampai di resort tepat saat jam makan siang. Setelah selesai unpacking, kita makan siang di resort sembari menunggu mobil sewaan datang. Kita sudah memiliki rencana untuk melihat beberapa tempat, tapi setelah berdiskusi lagi dengan karyawan resort, dia menyarankan beberapa tempat yang tidak ada di itinerary kita yang menurutnya lebih menarik untuk dikunjungi.

Oiya menu makan siangnya cukup unik. Ikan bakar yang enak dan sayuran yang namanya saya lupa, tapi rasanya enak dan segar. Makan di hotel ini ga semahal yang saya kira, per orang jatohnya 40ribuan. Okelah, kita semua bisa makan puas sampe kekenyangan.

Sayur enak yang lupa apa namanya, Photo by Bita

Perut kenyang, mobil sewaan datang. Tujuan pertama hari itu adalah kampung adat Bondo Kapumbu. Tadinya ini tidak ada di dalam itinerary kami, namun pemilik resort menyarankan kami pergi ke sini. Supir mobil sewaan kami rupanya bukan asli orang Sumba, melainkan orang Flores, sehingga dia kurang familiar dengan jalan di sekitar Tambolaka. Setelah perjalanan sekitar satu jam dan nyasar beberapa kali, akhirnya sampai juga di Bondo Kapumbu.Yeay!

Bondo Kapumbu. Photo by Inu

Kampung adat Bondo Kapumbu ini masih asri dan belum terlalu komersil. Ketika mobil kita berhenti di pinggir jalan, sekelompok lelaki dengan parang di pinggang dan muka seram mendekati mobil kami. Serius itu serem banget karena tampangnya galak, Inu aja yang brewokan takut, apalagi saya dan Bita. Tapi setelah dijelaskan kalau kami ingin berkunjung melihat kampung adat ini, barulah mereka menjadi lebih ramah. Fiuh. Hahaha.

Kami disambut oleh salah seorang penduduk yang bernama Pak Alex. Beliau mempersilakan kami duduk di semacam serambi rumah adatnya dan menyajikan sirih-pinang. Adalah suatu kebiasaan di Sumba untuk menyajikan sirih-pinang untuk tamu yang datang ke rumah. Mungkin semacam teh manis kalo budaya Jawa.
Saat ditawarkan untuk mencoba si sirih pinang ini, saya tertantang untuk mencoba. Hahaha.

Sirih Pinang. Photo by Inu.


Awalnya sih baik-baik aja. Beberapa orang berkomentar "Wah hebat ya tidak pusing. Biasa orang kalau makan ini pusing kepalanya." Saya ketawa aja, kenapa pula jadi pusing, sayuran doang. 10 menit kemudian saya berkunang-kunang, mual dan keringat dingin. Ini mah kayak minum shot tequila 3 gelas berturut-turut. Hahaha. Saya kemudian langsung diberi gula pasir. Iya, saya disuruh mengunyah gula pasir. Tak lama kemudian, saya sober dan kembali normal. Hahaha. Sampai sekarang masih menjadi misteri, bagaimana gula pasir bisa mengobati mual dan kepala berkunang-kunang.

Sama halnya dengan desa adat Bena di Flores, kampung adat Bondo Kapumbu juga memiliki kuburan leluhur di halaman rumahnya. Hanya saja bentuknya berupa kotak-kotak yang terbuat dari batu dengan tutupnya berupa lempengan batu datar menyerupai meja. Di sana makam-makam ini tidak terlalu dianggap keramat. Malah dijadikan tempat duduk-duduk loh. Lalu di sana juga banyak anjing berkeliaran. Dan juga kuda!

Kakek duduk-duduk di atas kubur 
Pak Alex banyak bercerita mengenai sejarah dan kebudayaan suku di Sumba. Pertama-tama, dia bercerita bahwa kebanyakan kampung adat di Sumba berada di atas perbukitan. Hal itu untuk mempermudah berperang melawan musuh. Kok bisa? Iya, jadi katanya dari atas mereka bisa melihat dari mana musuh datang dan untuk melumpuhkannya tinggal dilempar batu deh dari atas. Hihihi. Pada waktu masa peperangan dengan Belanda, banyak kampung adat yang pindah ke atas bukit untuk bisa bertahan, karena pada masa itu Belanda sudah menggunakan senjata api. Kalah juga ternyata kalo dilemparin batu dari atas :p

Dan lagi-lagi hampir sama seperti di Toraja atau Flores, lambang kemuliaan suku ini adalah tanduk kerbau dan juga gigi babi. Tanduk kerbau ini dipajang di beranda rumah. Rumah adatnya memiliki atap yang terbuat dari alang-alang.

Kami berkesempatan untuk diajak melihat ke dalam rumah adat. Bentuknya kotak dengan layout cukup sederhana : kamar, dapur dan tempat untuk berkumpul / makan baik keluarga. Lalu ada juga satu ruangan kecil yang digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka. Pak Alex adalah seorang guru, di dalam rumahnya terdapat meja belajar. Oiya, listrik adalah barang langka di sini, sebagian besar penerangan di dalam rumah ini menggunakan lampu templok.

Sebgain perabot  seperti meja dan lemari, terbuat dari bambu.
Pak Alex juga bercerita tentang agama asli orang Sumba, yaitu Marapu. Agama ini mempercayai satu Tuhan dan membaca masa depan melalui tanda-tanda di hati ayam atau hati babi. Ajaib sekali.

Puas melihat-lihat isi rumah adat, kita lalu berfoto-foto dan bercengkerama dengan penduduk setempat. Inu diberi kesempatan untuk berfoto menggunakan kain Sumba dan parang. Ternyata di sini, sangat lazim bila laki-laki membawa parang karena itu adalah simbol kejantanan. Layaknya perempuan memakai anting, pria Sumba itu ke mana-mana membawa parang. Bawa parang, muka galak. Jantan sih emang, tapi yaaaa kalo ga paham ya serem Pak, beneran.

Siapa yang ga takut ngeliat ini :3

Brewok tambah seram
Setelah puas berfoto-foto dan bertukar alamat dan nomor telpon dengan Pak Alex, kita pamit pulang. Ada janji mengirim foto di bawah ini ke mereka. Belum terkirim juga sampai sekarang. Minggu ini deh, janji saya pada diri sendiri.

Bersama warga Kampung Adat Bondo Kapumbu :)
Kunjungan yang menyenangkan, mungkin karena belum resmi jadi desa wisata, tidak ada paksaan untuk membeli ini itu sebagai suvenir yang kerap terjadi kalau kita mengunjungi kampung adat. Berkunjung ke sini seperti berkunjung ke rumah tetangga, semua orang memberikan sambutan yang hangat dan kita diperlakukan layaknya teman sendiri.

Nah, satu minggu setelah kunjungan ini, kampung adat Bondo Kapumbu diresmikan menjadi Kampung Wisata loh. Semoga suasananya tetap hangat dan menyenangkan ya.

Untuk menutup hari pertama yang seru ini, kita pergi ke pantai Mananga Aba, atau lebih sering disebut sebagai pantai Kita. Pantai ini lagi lagi adalah surga dunia yang tersembunyi. Beberapa nelayan tampak pulang melaut kita sampai. Tidak ada pohon kelapa seperti pantai pada umumnya, yang ada adalah pohon khas daerah tropis, pohon berkambium dengan cabang dan daun. Pasirnya juga lembut dan ombaknya besar. Sungguh ideal untuk sesi foto kalender. Hahaha.





Pantai ini tidak tepat menghadap ke barat dan sore it langit sedikit berawan, namun pantai ini benar-benar menghadap ke laut lepas. Benar-benar seperti berada entah di mana. Lost in time.

Hari semakin gelap, kita bergerak pulang ke Tambolaka. Resort tidak menyediakan makan malam, jadi kita mencari tempat makan di kota. Kita dibawa ke warung GG. Ini adalah tempat baru yang menyediakan makanan barat dan punya wifi! Langsung kita bertiga ngepath pamer foto di socmed masing-masing. Hahaha.

Oiya secara tidak sengaja kita bertemu dengan Markus. Markus ini adalah mahasiswa binaan komunitas kuliah ayah saya yang berdomisili di Sumba. Sesungguhnya dia kuliah di Kupang, tapi sekarang sedang pulang ke rumahnya di Tambolaka. Dia biasa menjadi guide. Nah berhubung sinyal di Tambolaka susah, saya tidak kunjung bisa menghubungi dia. Tapi malam itu ternyata kita dipertemukan tidak sengaja, hahaha, jadilah Markus berjanji akan menjadi guide untuk kita besok.

Yeay! Selesai sudah cerita hari pertama. Ga sabar untuk cerita hari kedua, karena dua spot paling bagus di Sumba menurut saya akan dikunjungi di hari kedua :) Sabat menanti yes. Hehehe

Minggu, 24 Agustus 2014

Kehilangan (Lagi)

Iya. Kehilangan lagi. Handphone yang baru dibeli tanggal 8 Agustus 2014, Nexus 5 LG yang kecenya luar biasa itu. Yang belinya nyicil 6 bulan bung 0% pake kartu kreditnya Tendy.

Saya suka banget sama handphone itu. Seneng pas pertama make hpnya itu lebih kurang sama rasanya kayak pas jadian sama cowok idaman. Ok, mungkin agak lebay, tapi sungguh itu rasanya menyenangkan. Makanya begitu ilang (dan ilangnya bukan karena kesalahan sendiri ) rasanya kayak putus! Mellow :(

Tapi kan itu barang duniawi ya. Barang duniawi yang hilang bisa diganti. Pembelajaran untuk ga terlalu terikata sama sesuatu, karena layaknya perasaan dan rejeki, hidup sudah mengatur datang dan perginyal, disesuaikan dengan kesiapan kondisi kita masing-masing.]

Sedih sedih sedih :(

Selasa, 19 Agustus 2014

Resensi Buku : Absurdity, (Iya, dengan koma)


Kalau ada yang bilang hidup itu tidak hitam putih, buku ini mungkin bisa membantu kamu untuk mengerti kenapa. Lihat saja nama pengarangnya : Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama. Panggilannya? Silakan jejerkan inisial dari tiap kata namanya. Hihihi.

Sesuai dengan judulnya, "absurdity," (iya, itu belakangnya pake koma), buku ini berisi sembilan tulisan tentang rangkaian kejadian absurd tapi nyata yang dialami penulis. Mulai dari kecengan yang diberi nama julukan ubur-ubur dan tukang es batu, bapak kos mata duitan, ujian yang selalu dapat B, teman kos Intel, kuntilanak, ular kobra, pokoknya absurd. Saya pribadi sudah lama membaca cerita cerita ini karena sebelumnya sudah dipublikasikan di blog pribadi penulis. Dan kadang sehabis membaca cerita-ceritanya saya suka mikir "perasaan gw kuliah ga gini gini amat, ni orang kenapa aneh-aneh banget sih hidupnya".

Satu hal yang menonjol dari buku ini adalah ejaan dan pemilihan katanya yang serius walaupun ceritanya kurang begitu penting. Semua kata asing ditulis miring dan gaya ceritanya macam mau cerita kisah roman ala ala novel. Coba, kapan terakhir kamu membaca kata bersungut-sungut? Kalau masih penasaran dengan tulisan Fikri yang lain, silakan kunjungi kompasiana.com/fikrifikri atau fikrifikri.wordpress.com yah, terutama tulisan doi periode 2010 - 2011. Hihihi.

Katanya sih, seri absurdity, ini akan ada bagian keduanya, pokoknya sampai penulisnya lulus kuliah dan dapat gelar sarjana. Kalau sudah baca yang ini pasti penasaran gimana si penulis akhirnya lulus S1. Hahaha.
Keren Fik! Ayo cepetan terbitin bagian keduanya yak ;)

*Fikri saat ini berdomisili di Cirebon, coba-coba bertani bawang sembari jadi content-writer salah satu perusahaan kreativ di Jakarta. Sekali-kali dia main ke Jakarta untuk setor muka ke kantornya, atau kalau lagi kangen dengan kawan-kawannya, atau kalau ingin menghirup satu dua teguk alkohol di salah satu tempat ngebir murah meriah di bilangan Kemang.

[ ]

Senin, 18 Agustus 2014

Tanah Air


Tetapi kampung dan rumahku, di sanalah ku mrasa senang..

Hampir tidak ingat kalau pernah nyanyi Tanah Air pas perjalanan dari Pulau Komodo ke Pulau RInca di trip flores November 2012 yang lalu. Begitu indahnya bumi Indonesia, Flores pada khusunya, sampai-sampai saya nyanyinya itu rasanya benar-benar pakai hati. Thanks Sapri for recorded this :)

Dirgahayu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke 69!

Rabu, 13 Agustus 2014

Kabar Gembira yang Bukan Mastin Ekstrak Kulit Manggis

Iya beneran kabar gembira. Hehehe.

Setelah tahun lalu sahabat-sahabat wanita saya berderet-deret menikah, tahun ini giliran sahabat-sahabat pria saya menikah setelah tahun lalu jomblo berjamaah. Selain menikah, beberapa yang galau menahun juga akhirnya punya pacar.

Seingat saya, tahun lalu saya itu nelangsa berat Semacam "Ini kenapa temen-temen gw nikah gw masih gini-gini aja". Untuk sekarang, hmmmm, saya sunggung senang untuk sahabat-sahabat saya. Tapi sesungguh-sungguhnya juga jadi semakin gentar sih, semacam "Ini kenapa temen-temen gw yang lain juga pada nikah gw terus aja begini".

At some point, I feel so pathetic. Iya. Galau akut di path. Tapi musti gimana?

Mungkin awalnya ini aja. Jangan denial. Bahwa harus jujur sama diri sendiri kalau memang takut. Takut sendiri terus, takut ga punya pasangan. Pertanyaan berikutnya : apakah saya sudah menjadi orang yang tepat untuk dijadikan pasangan oleh orang yang saya anggap tepat?

Soal kayak gini endingnya emang harus pake iman sih. Be a good woman, and the right man will finally find me. I do believe. And how to definde good? Still not sure about that actually, tapi mungkin "good woman" harusnya adalah wanita yang bisa membawa kebaikan untuk sekelilingnya.

Mungkin, entahlah. Terlalu umum. Hehehe.

Pagi-pagi galau, gimana kalau sekarang cepet mandi terus ngantor? Okesip.

Selasa, 15 Juli 2014

Dua Puluh Tujuh



Sudah dua puluh tujuh tahun.
Banyak hal yang patut disyukuri. Rejeki yang lebih dari cukup. Keluarga yang penuh kasih. Teman-teman yang selalu ada kapan pun. Perjalanan-perjalanan yang selalu memberikan pengalaman baru. Pekerjaan yang nyaman. Kesehatan yang baik.

Masih banyak permintaan lain. Seperti permohonan akan kesabaran seluas samudra, dan kekuatan, dan kebijaksanaan untuk menjalani hidup. Untuk bisa bahagia dengan apa pun itu.

Semoga bisa menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat untuk sesama, bangsa dan negara.
Terdengar terlalu muluk-muluk. Biarlah. Mungkin memang harus seperti itu ketika menginjak dua puluh tujuh.

Sebenarnya ingin menulis bahwa di umur dua tujuh ini pingin banget banget punya pacar. Dengan segala kejadian di tahun lalu, rasanya sekarang yang dibutuhkan adalah tempat pulang. Sesederhana punya seseorang untuk diberi kata sayang.

Tapi kan katanya expectation kills, jadi ga jadi. Daripada kecewa. Lebih baik minta diberi kesabaran, kekuatan dan kebijaksanaan. Setelah ini, mau berhenti menghitung umur. Mau belajar menjalani saja dengan sebaik-baiknya. Hidup selalu punya kejutan setiap hari dan bekerja dengan caranya sendiri kan :)

 [ ]
*lagu di atas itu komposisi dari Gardika Gigih Pradipta, komposer muda Jogja, ga sengaja nemu di soundcloud. Bangga deh nemu ini, musiknya klop dengan mood saya. Hahaha :)


Rabu, 02 Juli 2014

Cerita Seru Tanjung Bira!

Lagi lagi, ini adalah tulisan tentang perjalanan yang sudah terjadi tahun lalu, November 2013. Tapi kita kembali ke  prinsip "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali." Hehehe.

Berawal dari tiket murah Jakarta - Makassar yang dibeli di awal tahun 2013, saya, Inu dan Zulfi berkesempatan untuk menjelajah Makassar selama lima hari. Dua dari lima hari itu dialokasikan untuk Tanjung Bira! Nih yang belum tahu di mana Tanjung Bira. Tepat di ujung kaki tegaknya Sulawesi. Tanjung Bira juga adalah pelabuhan yang menghubungkan Taman Laut Takabonerate dengan pulau Sulawesi. Takabonerate sendiri terkenal sebagai salah satu tujuan diving di Indonesia :)


Karena satu dan lain hal, Inu harus menyusul berangkat ke Makassar, sehingga hanya saya dan Zulfi saja yang jalan ke Tanjung Bira. Sekali-kalinya travelling berdua doang sama cowok, tapi why oh why itu Zulfi... Hahaha.

Banyak cara menuju Tanjung Bira, bisa dengan menggunakan  kendaraan umum atau travel dari Terminal Walengkeri atau sewa mobil. Hehehe. Berhubung kita sampai di Makassar dini hari, sekitar jam 1 pagi, diputuskan untuk minta jemput di bandara dan langsung cabcus ke Tanjung Bira. Kami berangkat jam dua pagi dan sampai ke penginapan jam 6 pagi. Ini agak kepagian, karena kita juga belum bisa check-in karena belum ada kamar kosong. Hahaha.

Oh iya. Setelah pulang dari Makassar, saya baru tahu kalau sebenarnya tidak direkomendasikan untuk jalan malam ke Tanjung Bira, karena daerah ini rawan perampokan (!!!). Untunglah kita ga kenapa-kenapa.

Tempat kita menginap namanya Salassa guesthouse. ratenya kalo ga salah 120k / kamar udah pake sarapan. Kamar mandi luar, ada kipas angin, tempat tidur springbed.


Enak dan nyaman kok. Yang paling mencolok dari guest house ini adalah tulisan di bawah ini :


Tuh Git, cinta butuh waktu Gitaaaaa.. Hahaha. Tapi emang bener, makanannya keluarnya lama aja.

Setelah menaruh barang di penginapan, saya dan Zulfi berjalan ke pantainya, itu sekitar 300 m dari penginapan, melihat-lihat kondisi. Di pinggir pantai ada beberapa orang yang menawarkan penyewaan kapal untuk snorkeling. Setelah ngobrol dengan beberapa orang, akhirnya saya dan Zulfi memutuskan untuk menyewa kapal ke Pak Bilki, kapal motor 350k sampe sore + sewa peralatan snorkeling 25k per item. total plus tips kalo ga salah kita akhinya ngasih 450k. Setelah deal, kami janjian untuk bertemu lagi jam 8an.

Tanjung Bira di pagi hari
Untuk sewa menyewa kapal ini, kalau beruntung bisa aja ramean sama orang lain. Di sini tamunya itu banyak bulenya, jadi kadang-kadang pemilik penginapan bantu mengatur penyewaan kapal buat snorkeling. Oiya di sini juga bisa diving. Saya san Zulfi sama-sama punya diving license, tapi demi efektifitas waktu, kita memilih snorkeling dan santai-santai saja.

Kami balik lagi ke penginapan, beristirahat sejenak minum teh dan sarapan roti yang dibeli pas di jalan. Oiya saya tidak lupa membayar uang sewa mobil dan janjian dengan supirnya untuk menjemput kami di tempat yang sama besok jam 11. Lalu mereka pamit, bilangnya mau cari makan dan tempat menginap. Sekitar jam 8an, kami jalan ke pantai, siap-siap snorkeling.

Snorkeling 

Kapalnya pak Bilki cukup OK. Nyamanlah apalagi cuma berdua. Perjalanan ke spot snorkelingnya lumayan lama, sekitar 45 menit-an. Setelah itu Pak Bilki memilih-milih spot dulu, katanya kalau beruntung bisa ketemu hiu :3 :3



Setelah menunggu Pak Bilki bolak balik masuk air buat ngecek arus dan ikan-ikannya, akhirnya kita nyemplung juga. BAGUS BANGET! Airnya bening. Ada banyak ikan berenang di mana-mana, dan ga ada siapa-siapa di situ selain saya dan Zulfi. Surga!

Bira!
Sebening ini airnyaaa!

Kayaknya kita snorkeling cukup lama, sekitar hampir satu jam. Setelah itu kita pindah spot lagi, tapi yang kedua ga lama. Nah yang kedua ini kita sempet ketemu sama seekor ikan agak besar yang kita curigai sebagai anak hiu, berenang menjauhi terumbu karang menuju laut dalam.

Kayaknya karena kita berdua kurang tidur, jadinya kita berdua kecapekan padahal baru dua kali berenang-renang. Jam 11an kita merapat ke Pulau Liukang.

Pulau Liukang

Pulau Liukang memiliki pasir putih dengan laut yang tenang. Di pulau ini ada sebuah restoran. Kita istirahat dan makan siang di sini. Damaaaai banget.

Pulau Liukang

Makan siang di pinggir pantai :)
Tidur siang di bawah pohon dengan pemandangan langit biru
Ada sebuah kejadian absurd siang itu. Begini kira kira kejadiannya. Waktu kita lagi tidur-tiduran santai tiba-tiba Pak Bilki mendatangi kita dengan muka panik.

PB : "Kalian tinggal di sini dulu ya. Ada diver yang hanyut. Saya mau bantu cari."
G : "Kenapa Pak? Hanyut?"
PB : "Iya hanyut, harusnya uda naik tapi ga ada, saya mau bantu cari."
Z : "Serem banget, kok bisa hanyut gitu pak?"
PB : "Iya, sering di sini hanyut begitu."
G dan Z : *hening. liat-liatan. untung ga jadi diving.*

Buset, itu serem banget, ga kebayang hanyut pas diving. Nah, 45 menit kemudian Pak Bilki balik lagi. Melaporkan kalau sudah ketemu, ternyata si kapal nyari di tempat yang salah. Zzzzz...

Oh iya, di sini kita juga sempet ngobrol sama bule Prancis. Dia sedang solo travelling ke sini dan sudah stay di Bira selama lebih dari 1 minggu. Dia bekerja di Vietnam dan sedang menghabiskan liburannya berkeliling Sulawesi! Sebelum di Bira, dia sudah menghabiskan dua minggu di Toraja.

"Your country is very beautiful." kata doi. Iya dong, jelas :D

Pantai Bara

Destinasi selanjutnya adalah Pantai Bara. Kita maksa banget ke pantai ini karena menurut salah satu kawan, ini spot yang wajib didatangi. Kalau ga salah harga kapal kita jadi agak mahal karena kita mau ke Pantai Bara ini. Soalnya memang jadi agak muter apa gimana gitu. Kalau mau snorkeling aja harga kapal bisa lebih murah dan spot snorkelingnya lebih banyak.

Dan memang ternyata pantai ini adalah SURGA. Pasirnya halus banget. Saya main air sampe bisa ketiduran saking pasirnya itu lembut banget.

That kalender view..

Tiduran di pasir? Bisa banget..


Biruuuu
power nap :p



Setelah puas bermalas-malasan di pantai Bira, akhirnya kami memutuskan pulang. Punggung mulai terasa perih karena terbakar. Perasaan sudah seharian ke sana ke mari, jam masih menunjukan pukul dua siang. Mungkin benar waktu sesaat berhenti di Tanjung Bira :)

Sunset di Pantai Bira

Salah satu hal yang paling berkesan di Tanjung Bira adalah menikmati matahari tenggelam. Pantai Bira tepat menghadap ke Barat. Kios-kios menyediakan meja dan kita bisa duduk duduk menikmati matahari tenggelam sambil minum sebotol bir :)

The peaceful sunset :)

Slowly disappear
Sambil menunggu hari benar-benar gelap, kita duduk santai minum bir dan berbagi meja dengan pasangan lansia dari Jerman. Mereka sudah berumur 60tahun lebih. Menghabiskan masa tua dengan mengelilingi seluruh dunia. Sang istri bercerita bahwa mereka sudah mengunjungi Yunani, Maroko, Afrika. Wowowow. I do wish I will have that kind of life. Spending the rest of my life travelling with my husband around the world.

Untuk makan malam, diputuskan untuk makan di salah satu warung makan yang paling ramai, namanya Warung Bambu. Pak Bilki mentraktir kami sebotol bir hehehe, mungkin karena kita ngasih tips yang agak banyak. Dan kami berjumpa lagi dengan si bule Prancis. Kita ngobrol cukup lama malam itu, kebetulan juga karena  itu adalah malam terakhir si bule Prancis ini di Bira. Permasalah hidup usia 20an, apa pun suku bangsanya, ternyata sama aja ya. Arti hidup, pencarian akan Tuhan, cinta, hahaha.

Pukul sembilan kita bubar. Saya sendiri rasanya ngantuk banget. Walau tidak pakai AC, malam itu tidurnya nyenyak. Mungkin karena kita berdua kecapekan juga.

Tempat pembuatan Kapal Pinisi

Besok paginya, kita bangun sekitar pukul 6. Ada dua agenda penting hari ini yaitu mengunjungi tempat pembuatan kapal dan pulang ke Makassar.

Sambil sarapan, kami mencari tahu dulu bagaimana cara menuju ke tempat pembuatan kapal pinisinya. Ada dua tempat, tapi yang satu agak jauh karena letaknya di bukit yang berbeda. Akhirnya diputuskan kita mengunjungi yang paling dekat dengan pelabuhan saja, bisa dijangkau dengan menggunakan angkot.

Jalan menuju TKP
Tempat pembuatan kapal ini sesungguh-sungguhnya adalah pantai yang dijadikan tempat untuk para perajin kapal untuk membentuk dan merakit kapal pinisi. Tidak ada mesin mesin canggih, hanya peralatan perkapalan sederhana. Sungguh takjub melihat bagaimana sebuah perahu pinisi yang besar itu dibangun dengan kekuatan manusia.

Kayu kayu penyusun

Kebayang kan segede apa :)

On Progress
Setelah puas melihat-lihat kapal, saya dan Zulfi memutuskan untuk menyusuri pantai guna kembali ke penginapan dariapa naik angkot lagi. Keputusan yang bagus dari segi petualangan karena pemandangannya bagus dan ini rasanya kayak di negeri antah berantah. Tapi ternyata jalannya jauh banget, butuh 1 jam lebih untuk bisa sampai ke pelabuhan, dan menunggu angkot di sana lamanyoooo..

Pantai yang kami susuri itu namanya Pantai Padraluhu. Bagus banget. Ada beberapa penginapan didirikan di pinggir pantai ini, tapi terlihat sepi tanpa pengunjung.

Pantai Padraluhu
Satu hal yang mencolok adalah bahwa nampkanya kebiasaan di sini adalah menguburkan orang meninggal di pinggir pantai. Ada beberapa nisan yang terlihat sudah rapuh berdiri tegak di bibir pantai. Damai sekali beristirahat di tempat macam ini. :)

Nisan di pinggir pantai
Rumah penduduk yang ditinggalkan, mungkin karena abrasi 


Ga Bisa Pulang!!

Sesampainya kembali di penginapan, ternyata mobil yang seharusnya menjemput kita ingkar janji!!!! Mereka tidak kembali menjemput alasannya tidak diberitahu. Padahal jelas jelas kemarin sudah dikasih tau. Sepertinya mereka mengambil penumpang dari Bira ke Makassar dengan tarif yang lebih mahal dibandingkan dengan tarif yang sudah saya sepakati.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12. Semua kendaraan yang biasa melayani wisatawan Tanjung Bira sudah berangkat menuju Makassar.

Cara satu-satunya untuk balik ke Makassar adalah menuju ke Bulukumba, Di terminal Bulukumba ada banyak omprengan yang menuju ke Makassar. Permasalahannya, angkot dari tanjung bira ke Bulukumba itu terbataaaaaas banget jumlahnya. Kalau mau menunggu bisa bisa sampai jam 2 atau jam 3 sore. Jeng jeng..

Di jalan sesepi ini menunggu angkot -____-
Oh iya, jangan pikir angkot di sini itu layaknya angkot Jakarta ya. Angkot di sini tampak luar nampak seperti mobil biasa, begitu dibuka, jeng jeng, isinya sudah dimodifikasi sedemikan rupa sehingga  muat banyak. Jadi kalau tampak luar, ga ada bedanya kendaraan pribadi  dengan angkot. Hehehe. Saya dan Zulfi pun menuggu di pinggir jalan. Setiap ada mobil lewat selalu kami tanya "Pak, kamu mau ke Bulukumba bisa ga?" Hahaha.

Kami diberitahu lebih baik menuju di pelabuhan daripada menunggu di depan penginapan. Di pelabuhan, banyak kendaraan dari Takabonerate yang langsung menuju Makassar atau Bulukumba. Jarak dari penginapan ke pelabuhan itu sekitar 500 meter. Jadilah kami berdua, siang bolong, dengan saya ngegerek gerek itu koper (sungguh ini ga adventurous keliatannya hahaha) berjalan menuju pelabuhan. Eh, begitu sampai di pelabuhan, ternyata begitu sampai pelabuhan, kapal dari Takabonerate baru tiba jam tiga sore. Jeng jeng. Akhirnya kami tetap menunggu angkot di pinggir jalan.

Hampir satu jam menunggu, akhirnya ada juga angkot lewat, namun angkot ini tidak menuju ke Bulukumba, melainkan ke Tanah Baru (atau Tana Beru ya). Tapi dari situ akan ada angkot yang menuju ke Bulukumba. Okeh baiklah, berangkatlah kita ke Tanah Baru. Di dalam angkot itu, selain ada orang yang jumlahnya lebih dari 10, ada juga galon aqua, ikan segar dan sembako. Tidak lupa kopor gerek milik saya dan carier milik Zulfi. Ga paham banget deh gimana itu semua bisa muat. Hahahaha.

Sesampainya di Tanah Baru, penumpang lain, beberapa ibu-ibu, yang juga mau menuju ke Bulukumba dengan baik hatinya mengajak kami untuk bareng. Mereka agak terheran-heran melihat kita berdua. Dengan gaya yang Jakarta banget ini, ngapain deh susah susah naik angkot ke Makassar. Hahaha.

Dari Tanah Baru, akhirnya kita naik angkot yang "normal" menuju ke Bulukumba. Yeay! Ibu-ibu sesama penumpang ini baik sekali. Dia tidak akan turun di terminal Bulukumba, tetapi karena tau kondisi kami, dia bicara dengan sopir angkotnya dan meminta tolong sopir angkot supaya membantu kami memilih mobil omprengan supaya tidak salah naik.
Ibu-ibu yang baik hati memberi petunjuk jalan :)
Dan akhirnya sampailah kita di termina Bulukumba! Itu sudah jam 4 sore. Saking leganya akhinya bisa sampi ke Bulukumba, kita sampe foto-foto di planknya. Norak banget, diliatin orang-orang. Hahaha.


Dengan bantuan pak supir angkot, kami berhasil mendapatkan omprengan yang akan membawa kami ke Makassar. End of the story? Belum!

Bayangkan, jam delapan malam begitu kami memasuki kota Makassar, mobil omprengan kami MOGOK di tengah jalan!! Hahahaha. Ini benar-benar luar biasa, mobil harus didorong dari tengah jalan untuk menepi ke pinggir jalan. Dengan segala ketidakpastian, akhirnya kami menelfon teman kami yang berdomisili di Makassar meminta petunjuk naik angkot untuk menuju ke tempat kami menginap.

Dan Voila!
Jam sembilan malam, akhirnya kami sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Dibutuhkan 9 jam dari Tanjung Bira ke Makassar menggunakan kendaraan umum, dari yang "maksa" sampai yang normal. Hahaha. Bandingkan bila naik travel atau kendaraan pribadi yang cuma 3-4 jam. Tidak mengapa, pengalamannya sungguh berharga. Berkesempatan bertemu banyak orang baik, ngobrol dengan orang lokal dan sungguh benar adanya, ada banyak jalan menuju Makassar. Hahaha.

****

Dengan keindahan pantai, sensasi matahari tenggelam dan keanekaragaman pesona bawah lautnya, bila kamu pergi ke Makassar, luangkanlah satu hari menengok Tanjung Bira. Dan belajar dari pengalaman saya, rencanakanlah transportasi dengan sebaik-baiknya bila tidak mau capek buang-buang waktu naik angkot dari Bulukumba. Hahaha.

Satu cerita menarik, Pak Bilki ini sepertinya terkesan banget dengan saya dan Zulfi, bahkan sampai sebulan kemudian dia masih rajin mengontak dengan mengirim pesan singkat. "Halo Gita, sedang ngapain?" >_<

Kesimpulannya? Meminjam istilah seorang sahabat, Tanjung Bira adalah sepotong surga di ujung Sulawesi. Saya sangat sangat setuju. Tunggu apalagi, segera masukan di wishlistmu ya!

[ ]

7 Tahun Bersama Orang Yang Sama

 Ini postingan telat 6 bulan, tapi ga apa-apa. Usia pernikahan gw sudah masuk 7 tahun. Ga gampang. Dan sejujurnya, sekitar sebulan sebelum u...