Ini adalah tulisan tentang catatan perjalanan saya November lalu ke tanah Flores. Bagian pertama dan kedua bisa dibaca
di sini.
17 November 2013
Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, kami bermalam di Bajawa, tepatnya di Hotel Vila Silverin. Hotel ini cukup nyaman dan bersih. Sempat ada isu air, karena tiba-tiba air di kamar mandinya Inu dan Sapri mati, hahahaha, tapi masalah dapat selesai dan kami berempat berhasil mandi dengan baik dan benar.
Hari ini adalah hari yang menarik. Pagi-pagi kita berempat bangun dengan suguhan matahari terbit yang cantik dari balik bukit yang merupakan pemandangan langsung dari kamar hotel kami.
Sarapannya gaya western, roti, selai dan mentega beku. Hahaha. Saking dinginnya, menteganya jadi keras. Tapi seperti halnya isu air kamar mandi, isu mentega ini juga bisa diatasi dan kita berempat sarapan pagi dengan riang gembira. (Hahaha, ini apa deh bahasa gw)
Agenda hari ini adalah berkunjung ke desa adat Bena yang terletak di kaki gunun Inerie, yang terletak di daerah Bajawa. Bajawa sendiri merupakan ibukota dari Kabupaten Ngada. Sedikit cerita soal asal usul nama Bajawa, kalau diartikan harafiah artinya itu piring dari Jawa, Menurut cerita guide kita tercinta, Teddy, yang seinget saya nih ya semoga aja ga salah (hahaha), di daerah ini asal mula digunakannya piring, yang merupakan benda yang berasal dari Jawa. Agak absurd sih memang dan saya sendiri agak meragukan kevalidan ingatan kepala saya. Hahaha.
Sekitar pukul delapan pagi, sambil menunggu mobil bersiap, kita foto-foto lucu dulu dong di depan hotel. Hotel ini terletak di pinggir jalan, dan pemandangan di depannya lumayan asik, perbukitan hijau.
|
Nunggu angkot! Hahaha. Yang sepi kayak gini di sana itungannya udah kota loh. Hehehe. |
Desa adat Bena terletak di kaki gunung Inerie. Inerie itu artinya Mama Besar. Gunung bagi orang Flores itu asosiasinya ke perempuan, ibu. Jangan mikir yang macem-macem ya! Hahaha.
|
Gunung Inerie, Mama Besar |
|
Desa Adat Bena |
|
Terletak di kaki gunung Inerie |
Oiya, di desa Bena ini, mereka menganut paham matrilineal. Ada legendanya mengapa demikian. Konon katanya, asal mula desa ini adalah ketika ada dua orang laki-laki pergi berburu dan berhasil mendapatkan hewan buruan. Namun karena tidak punya api, mereka tigak mungkin memasak hasil buruannya. Lalu tetiba di kejauhan mereka melihat ada asap, tanda ada sumber api. Ketika mereka menghampiri sumber api tersebut, ternyata milik dua orang wanita. Singkat cerita, mereka akhirnya berpasang-pasangan dan berkembang biak dan jadilah desa Bena. Nah, karena tanpa adanya dua wanita dengan api itu, tidak mungkin akan tercipta suku Bena, maka wanita di suku Benda dianggap lebih berkuasa dan lebih tinggi lah posisinya dibanding pria. Matrilineal.
Sebelum masuk, kita diwajibkan terlebih dahulu untuk mengisi buku tamu. Dari statistik yang dicetak dan ditempel di dinding pos, jumlah wisatawan yang datang ke sini semakin meningkat dari tahun ke tahun, tapo tetap saja lebih banyak wisatawan asingnya daripada wisatawan lokal. Hehehe.
Yang tinggal di desa ini asal muasalnya terdiri dari 9 suku. Dan silsilah keluarga dari 9 suku ini dicatat baik-baik sampai sekarang. Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan 9 suku di desa adat ini. Catatan keturunan dari 9 suku ini bisa dibaca di pos registrasi.
Setelah mendaftaf di pos registrasi, kita mulai berjalan memasuki Desa Adat Bena. Desa ini terletak di kaki gunung, jadi konturnya menanjak.Tumah-rumah berbaris rapi di kiri kanan dan titengah-tenahnya merupakan tanah kosong dan ada beberapa monumen atau rumah-rumahan yang berfungsi sebagai fasilitas bila diselenggarakan acara adat.
|
Rumah ada di sisi kiri dan kanan, sedangkan di terasnya terdapat monumen atau rumah-rumahan kecil |
Ada dua jenis rumah-rumahan yang terdapat di teras, rumah yang atapnya lancip seperti payung, dan rumah yang atapnya rata. Kedua rumah ini menyimbolkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Bila diperhitungkan dengan seksama, jumlah rumah "laki-laki" dan rumah "perempuan" adalah sama, artinya harus saling berpasang-pasangan, seimbang. (ini agak sotoy sih. hahaha)
|
Rumah Lelaki dan Rumah perempuan. |
Bila diperhatikan lebih detail lagi, ukiran dan lukisan yang ada di pasak rumah-rumah ini kebanyakan menggambarkan tanduk kerbau, lambang kemakmuran. Mereka punya kebiasaan menyimpan tanduk kerbau yang digunakan pada saat ada upacara ada. Tanduk kerbau ini menggambarkan semacam kemapanan dari keluarga yang bersangkutan. Mirip seperti suku Batak dan Toraja ya. Menurut guide kami, pernah dilakukan studi, dan diduga nenek moyang suku Flores, Batak dan Toraja itu sama. Hal ini didukung oleh fakta bawa kain tenun Flores dan kain ulos hampir mirip. Lalu rumah ada batak, Toraja dan Flores, sekilas memang mirip. Masih menurut guide kami, menurut penelitian, rumah adat Flores ini merupakan lambang dari kapal terbalik, untuk menghormati nenek moyang mereka yang datang dengan menggunakan kapal. Ini masuk akal kalau dipikir-pikir. Hihihi.
|
"Koleksi" tanduk kerbau |
|
Ukiran tanduk kerbau di tiang rumah-rumahan laki-laki |
Satu lagi hal yang menarik dari rumah adat suku ini adalah banyak benda tajam di ujung atap tiap rumah. Bisa berupa semacam duri, bisa juga gambar orang memegang panah. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, setan itu berkeliaran di udara. Jadi dengan memasang benda tajam di atap mereka, diharapkan roh jahat itu tidak akan mengganggu keluarga mereka.
Cerita menarik dari suku ini adalah juga kebiasaan untuk menguburkan orang meninggal di halaman rumah mereka. Di sepanjang teras kami melihat banyak monumen dari batu-batu pipih. Ini dipercaya adalah makan dari nenek moyang suku ini. Sudah ada sejak dari generasi pertama suku Bena. Sensasinya agak aneh, ketika menyadari bahwa jutaan tahun yang lalu, nenek moyang suku ini dimakamkan tepat di bawah tanah yang sedang kita pijak. Jaman dahulu, karena belum kenal batu nisan, tempat dimakamkannya jenazah diberi batu besar sebagai penanda. Kalau sekarang sudah disederhanakan kok, beberapa makam baru sudah terlihat menggunakan nisan normal. Hihihi.
|
Makam kuno di depan rumah |
|
Nisan-nisan kuno |
Kita menghabiskan waktu menelusuri desa ini dari bawah sampai mentok ke atas. Dan begitu sampai di atas eh kok kenapa patung Bunda Maria. Di Flores, agama mayoritasnya adalah agama Katolik dan sudah melebur dengan kebudayaan setempat. Jadi itulah mengapa ada patung bunda maria tiba-tiba di ujung bukit desa Bena ini. Saya menyempatkan diri berdoa lalu kemudian bergabung kembali dengan rombongan yang sedang asyik menikmati pemandangan di sebuah pendopo di balik gua maria. Pemandangannya asik nian dengan Gunung Inerie di sebelah kiri.
|
Gua Bunda Maria di atas bukit |
|
Pemandangan ciamik di belakang gua Maria. Latar belakang gunung Inerie |
Untuk menunjang perekonomian desa ini, penduduk desa ini, terutama yang perempuan, membuat kain tenun dan menjualnya kepada para turis. Kita bisa menyaksikan langsung bagaimana kain itu ditenun, karena mereka menenun ini semua tepat di teras rumahnya masing-masing. Kain-kain yang sudah jadi digantung di depan rumah, menghasilkan pemandangan yang cantik dari kejauhan. Ada juga yang menjual souvenir menarik seperti gantungan kunci dan kaos.Tentu saja saya berbelanja demi bergeraknya roda perekonomian di desa ini. Hahaha.. Ikatan kepala dan kain untuk mama. Harganya berkisar antara 200 ribu - satu jutaan, tergantung tipe kainnya dan kompleksitas jaitannya. Mau nawar sebenarnya tapi ga tega. Hahaha.
|
Kalung taring babi :D |
|
Kain warna warni |
|
Menenun |
|
Detail tenunan. Motifnya motif binatang. |
|
Menunggu pembeli |
Waktu sudah menunjukan hampir pukul dua belas. Kita akhirnya mengucapkan salam perpisahan dan meninggalkan desa adat Bena. Hari ini setelah desa adat Bena tujuan akhirnya adalah Labuan Bajo. Perjalanan dari Bajawa ke Labuan Bajo cukup panjang. Sekitar 5-6 jam jalan darat.
Di perjalanan, kita sempat mampir ke dua tempat. Ke danau yang saya lupa apa namanya (ternyata namanya Danau Ranamese, kab Manggarai. Thanks Yosafat for email me the right name of the lake :D), hahaha, dan ke sawah laba-laba. Yang danau, kita cuma mampir numpang melihar dari pinggir jalan raya, lalu foto-foto. Danau ini kerap dijadikan tempat memancing. Maafkan, sampai detik ini saya masih lupa namanya. Hahaha.
|
Danau lupa namanya. hahaha. |
Kalau sawah laba-laba, ini seru. Untuk bisa melihat pola laba-laba, kita harus melihat sawahnya dari atas bukit. Perjalanan ke atas bukit ini sekitar 15-20 menit. Lumayan menanjak dan cukup biking ngos-ngosan. Pada waktu sampai di lokasi Sawah Laba-laba ini, cuaca mendung Jadi kita terburu-buru naik. Sayangnya ketika sampai puncak bukit supaya bisa melihat si sawah laba-laba ini, tiba-tiba hujan turun gerimis. Langsung deh kita terburu-buru pula mengambil foto.
|
Sawah Laba-Laba |
|
Zoom In. Sawah Laba-laba |
Diberi nama sawah laba-laba karena pembagian petaknya menyerupai sarang laba-laba. Ada penjelasan menariknya. Konsep sawah laba-laba ini adalah keadilan. Kepala Desa akan duduk di tengah sawah, lalu semua penduduknya akan duduk melingkar dengan jarak yang sama satu ke yang lain. Lalu Kepala desa akan menarik garis lurus dari titik tengah tempat di dia berdiri ke setiap-setiap penduduk yang sudah berkeliling. Tujuannya adalah supaya semua orang mendapat bagian sawah yang sama luasnya. Menarik ya?
Selesai dengan sawah laba-laba, perjalanan dilanjutkan. Kita menuju ke Labuan Bajo! Kita akhirnya sampai di Labuan Bajo sekitar pukul 7 malam. Tebak di mana kita menginap? Hotel Jayakarta - Labuan Bajo! Kamarnya nyaman dan enak. Dan yang paling penting : ada air panasnya! Malam itu saya mandi dengan sensasi palin nyaman se 2012. Hahaha. Malam itu kita tidur super nyenyak. Tidak sabar untuk segera memulai petualangan besok: overland Pulau Komodo!
[ ]
* Foto-foto diambil dari hasil jepretan saya, Inu, Bita dan Sapri