Kamis, 19 September 2013

#11 Overland Flores - Bagian 4 : Bertemu Komodo!

Ini adalah tulisan tentang catatan perjalanan saya November lalu ke tanah Flores. Bagian pertama, kedua dan ketiga bisa dibaca di sini.

18 November 2012

Pagi ini kita bangun dengan perasaan sangat-sangat bersemangat. Selain karena akhirnya kita bisa menikmati kasur super empuk dan pemandangan pagi yang ciamik di Hotel Jayakarta Labuan Bajo, agenda hari ini super menarik. Main di Pink Beach dan melihat Komodo! Yeay :)


Pantai yang ada di hotel Jayakarta kalau tidak salah baru indah untuk matahari tenggelam. Waktu saya turun untuk main-main di pantainya, hari sudah agak siang. Okelah hotelnya, kalau mau tempat tinggal yang rapih bersih dan elegan, hotel ini sangat recommended. Ya iyalah, berbintang git..


Suasana pantai yang sedang surut di pagi hari.



Bagian hotel yang menghadap ke pantai. Kolam renangnya bikin pingin nyebur!
Sekitar pukul setengah sembilan, kita dijemput untuk menuju  ke Pelabuhan. Jadi nanti untuk menuju ke Pulau Komodo, kita akan menggunakan kapal malam ini kami akan bermalam di atas kapal. Kita berempat benar-benar bersemangat!

Pelabuhan Labuan Bajo merupakan jantung kehidupan kota Labuan Bajo, tempat yang paling ramai. Kalau mau cari restoran atau toko-toko gitu ya di sekitar pelabuhan ini sih. Di sana selain tempat datang perginya barang-barang utama untuk menunjang kehidupan macam makanan, minuman dan barang dagang lainnya, pelabuhan ini juga merupakan satu-satunya pelabuhan yang bisa digunakan  kalau kita ingin menuju Pulau Komodo.

Sepanjang pelabuhan ini banyak sekali kapal-kapal yang memang ditujukan untuk wisata. Jadi kapal ini menyediakan kamar tidur dan di bagian atasnya ada tempat duduk dan meja untuk makan-makan. Hari ini agendanya adalah snorkeling ke Pink beach, tracking di Pulau Komodo, lalu bermalam di dekat Pulau Rinca. Yak betul, malam ini kita tidur di atas kapal!

Pelabuah Labuan Bajo dari atas bukit

Pose dulu di depan kapal yang akan kita naiki :p
Kita berangkat sekitar pukul 10 pagi. Lautnya tenang. Pemandangannya menyenangkan, di beberapa tempat, air lautnya bening, saking beningnya kita bahkan bisa lihat coral-coral di bawahnya. menyenangkan sekali lah pokoknya.


Mari kita berlayar!


Air yang bening, bukit yang cantik

Sejauh mata memandang..
Dan akhirnya sampai jugalah kita di pantai legenda yang kerap menjadi buah bibir orang-orang yang baru balik dari Komodo : Pink Beach! 

Untuk menjaga kelestarian terumbu karang di sekitar pink beach, kapal dilarang merapat ke pantai, jadi kita harus berenang dari kapal menuju pantai. Pink beach ini baguuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuus banget! Pokoknya salah satu pantai paling seksi yang pernah saya datengin. Kita snorkerling dan dilanjutkan dengan  foto-foto pantai ala kalender seperti biasa. Snorkelingnya itu effortless banget. Airnya bening dengan terumbu karang warna warni dan ikan di mana-mana. Pantainya bersih dengan pasir berwarna putih kemerahan, sehingga kalau dari jauh atau kalau difoto, warnanya pink. Warna pink ini berasal dari perpaduan pasir di pantai dengan sisa-sisa coral berwarna merah dari dalam laut yang terbawa ombak. Cantik banget deh pokoknya.

Pink beach. Benar-benar Pink!

Ini dia penyebab warna pink nya ;)

narsis bentar ya hahaha
Foto special edition nih. Hahaha. Bikininya uda ga ada lagi, terbang pas dijemur di kapal.

The usual beach pose :p
Pokoknya kita puaaaaas banget sama pink beach ini, rasanya kayak ga mau balik ke kapal. Hahaha. tapi karena laper, jadinya ya balik lagi ke kapal sih buat makan siang. Walaupun makannya di atas kapal, tapi percayalah makanannya enak-enak loh. Kayak makan di restoran. Habis snorkeling, dingin-dingin, dikasih makanan enak, terus makannya sambil ngeliatin laut yang airnya biru dan bening itu surga kawan. Hehehehe.

Sore sekitar pukul tiga, kita akhirnya sampai di Pulau Komodo. Kapal bersandar di darmaga dan kami turun. Jadi inilah tempatnya ya, Pulau Komodo yang dinominasikan sebagai salah satu keajaiban dunia :)


Sandaran kapal menuju pulau Komodo

Selamat datang di taman Nasional Komodo!
Karena paket yang kita ambil sudah termasuk tiket masuk, jadi datang-datang kita tidak usah mengurus daftar mendaftar lagi. Pada saat kita datang, kebetulan ada komodo betina yang lagi nognkrong di bagian depan. Kata penjaganya kita cukup beruntung, karena ketika datang, ada komodo yang berkeliatan d sekitar pintu masuk. Kita pun mengambil foto di komodo, tapi sungguh itu agak ngeri. Takut tiba-tiba doi loncat lalu merekam. Hahaha. Tak lama, kita langsung mendapatkan guide, atau istilahnya ranger, yang akan mengantar kami mengelilingi Pulau Komodo. 

Foto sama komodo nya jarak min 1.5 m hihihi


Siap berangkat pak ranger!
Sebelum berangkat, kita dikasih penjelasan tentang hal-hal apa saja yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan di sana. Ga boleh lari-lari, ga boleh bawa makanan, dan kalau lagi menstruasi harus bilang. Komodo ini peka sekali dengan bau makanan, daging segar dan darah. Serem dah pokoknya.

Selain Komodo, di pulai ini juga tinggal beragam jenis binatang lain. Ada babi hutan dan rusa, yang notabene adalahah makanan si komodo. Ada juga berbagai macam serangga dan burung. Dalam perjalanan mengelilingi Komodo kita sempat bertemu dengan rusa, babi hutan, kancil dan tentu saja si komodo.


kancil

burung

babi hutan

burung lagi

rusa
Nah pas ketemu komodo, ternyata ga semenyeramkan yang kita kira. Dia cuma tiduran gitu ga bergerak kayak batang kayu. Rangernya menjelaskan kalau komodo ini memang memiliki trik demikian. Dia akan diam seperti itu sehingga si mangsanya tidak akan menyangka bahwa dia adalah ancaman. Ketika mangsanya sudah dekat, baru deh si komodo ini menggigit. Gigitannya tidak akan membuat korbannya langsung mati, tapi butuh beberapa hari. Komodo ini ga makan daging dari korban yang masih hidup. Nah karena digigit, bau darah dan daging segar kan akan menyebar di udara, komodo-komodo lain akan datang mendekat. Jadi biasanya, korban yang sekarat akan dikelilingi oleh banyak komodo yang menunggu dia mati. Begitu mati, baru deh diserbu dan dimakan rame-rame. Serem ya. Tapi itu loh yang paling engga banget, menipu hewan lain supaya disangka bukan hewan berbahaya. 

Si komodo pemalas

nyaru di antara pepohonan

Foto bersama si komodo dari jarak aman. Hahaha.
Ini adalah satu-satunya komodo yang kita temui sore itu sepanjang tracking di Pulau Komodo. Selain komodonya, Pulau Komodo itu sendiri adalah pulau yang sangat indah dan eksotis. Kita menyempatkan diri untuk berfoto-foto di puncak bukit sebelum kembali ke kapal.

Pulau komodo!

memandang masa depan (?)
Kejutan menyenangkan adalah ketika kita sampai di pos awal dekat dermaga, kita bertemu kawanan komodo lagi! yeay! Jadi di salah satu rumah panggung yang ada di dekat pos, ada yang sedang memasak. Karena mencium bau masakan, si komodo-komodo ini datang dan berkerumun tepat di bawah rumah panggungnya. Berharap mendapat makanan. Dasar pemalas. 


Komodo kelaparan!
Ketika kita meninggalkan pulau Komodo, hari sudah cukup sore. Tujuan selanjutnya adalah Pulau Rinca, tempat kami bermalam sekaligus merupakan destinasi terakhir trip ini. Pemandangan sore ini adalah salah satu pemandangan yang tidak akan pernah saya lupakan. Kita duduk di dek paling atas ditemani pisang goreng dan teh panas sambil menikmati langit yang makin lama makin jingga, menunggu matahari terbenam. 

Rasa nasionalisme tiba-tiba naik ke level maksimal. Nyanyi nyanyi lagu nasional sambil menikmati langit sore. Hahaha.

pisang gore, teh, dan matahari tenggela,

Indonesia tanah air beta!
Hari yang cukup melelahkan. Setelah kapal sandar, kita segera makan malam dilanjutkan dengan sesi curhat. Hahaha. Kesimpulannya hari ini  adalah hari yang memuaskan. Pink beach dan tracking komodo benar-benar bikin hati senang dan lupa sama capek-capek 3 hari kemari. Sekitar pukul sembilan kita pun tidur. Besok pagi, kita akan tracking lagi di Pulau Rinca. Katanya di sana komodonya lebih banyak dan lebih lincah. Mari kita lihat besok :)

[ ]


Kamis, 05 September 2013

#11 Overland Flores - Bagian 3 : Desa Adat Bajawa dan Sawah Laba-Laba, Cerita tentang Kearifan Lokal

Ini adalah tulisan tentang catatan perjalanan saya November lalu ke tanah Flores. Bagian pertama dan kedua bisa dibaca di sini.

17 November 2013

Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, kami bermalam di Bajawa, tepatnya di Hotel Vila Silverin. Hotel ini cukup nyaman dan bersih. Sempat ada isu air, karena tiba-tiba air di kamar mandinya Inu dan Sapri mati, hahahaha, tapi masalah dapat selesai dan kami berempat berhasil mandi dengan baik dan benar.

Hari ini adalah hari yang menarik. Pagi-pagi kita berempat bangun dengan suguhan matahari terbit yang cantik dari balik bukit yang merupakan pemandangan langsung dari kamar hotel kami.


Sarapannya gaya western, roti, selai dan mentega beku. Hahaha. Saking dinginnya, menteganya jadi keras. Tapi seperti halnya isu air kamar mandi, isu mentega ini juga bisa diatasi dan kita berempat sarapan pagi dengan riang gembira. (Hahaha, ini apa deh bahasa gw)

Agenda hari ini adalah berkunjung ke desa adat Bena yang terletak di kaki gunun Inerie, yang terletak di daerah Bajawa. Bajawa sendiri merupakan ibukota dari Kabupaten Ngada. Sedikit cerita soal asal usul nama Bajawa, kalau diartikan harafiah artinya itu piring dari Jawa, Menurut cerita guide kita tercinta, Teddy, yang seinget saya nih ya semoga aja ga salah (hahaha), di daerah ini asal mula digunakannya piring, yang merupakan  benda yang berasal dari Jawa. Agak absurd sih memang dan saya sendiri agak meragukan kevalidan ingatan kepala saya. Hahaha.

Sekitar pukul delapan pagi, sambil menunggu mobil bersiap, kita foto-foto lucu dulu dong di depan hotel. Hotel ini terletak di pinggir jalan, dan pemandangan di depannya lumayan asik, perbukitan hijau.


Nunggu angkot! Hahaha. Yang sepi kayak gini di sana itungannya udah kota loh. Hehehe.


Desa adat Bena terletak di kaki gunung Inerie. Inerie itu artinya Mama Besar. Gunung bagi orang Flores itu asosiasinya ke perempuan, ibu. Jangan mikir yang macem-macem ya! Hahaha.

Gunung Inerie, Mama Besar

Desa Adat Bena

Terletak di kaki gunung Inerie
Oiya, di desa Bena ini, mereka menganut paham matrilineal. Ada legendanya mengapa demikian. Konon katanya, asal mula desa ini adalah ketika ada dua orang laki-laki pergi berburu dan berhasil mendapatkan hewan buruan. Namun karena tidak punya api, mereka tigak mungkin memasak hasil buruannya. Lalu tetiba di kejauhan mereka melihat ada asap, tanda ada sumber api. Ketika mereka menghampiri sumber api tersebut, ternyata milik dua orang wanita. Singkat cerita, mereka akhirnya berpasang-pasangan dan berkembang biak dan jadilah desa Bena. Nah, karena tanpa adanya dua wanita dengan api itu, tidak mungkin akan tercipta suku Bena, maka wanita di suku Benda dianggap lebih berkuasa dan lebih tinggi lah posisinya dibanding pria. Matrilineal.

Sebelum masuk, kita diwajibkan terlebih dahulu untuk mengisi buku tamu. Dari statistik yang dicetak dan ditempel di dinding pos, jumlah wisatawan yang datang ke sini semakin meningkat dari tahun ke tahun, tapo tetap saja lebih banyak wisatawan asingnya daripada wisatawan lokal. Hehehe.


Yang tinggal di desa ini asal muasalnya terdiri dari 9 suku. Dan silsilah keluarga dari 9 suku ini dicatat baik-baik sampai sekarang. Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan 9 suku di desa adat ini. Catatan keturunan dari 9 suku ini bisa dibaca di pos registrasi.


Setelah mendaftaf di pos registrasi, kita mulai berjalan memasuki Desa Adat Bena. Desa ini terletak di kaki gunung, jadi konturnya menanjak.Tumah-rumah berbaris rapi di kiri kanan dan titengah-tenahnya merupakan tanah kosong dan ada beberapa monumen atau rumah-rumahan yang berfungsi sebagai fasilitas bila diselenggarakan acara adat.

Rumah ada di sisi kiri dan kanan, sedangkan di terasnya terdapat monumen atau rumah-rumahan kecil

Ada dua jenis rumah-rumahan yang terdapat di teras, rumah yang atapnya lancip seperti payung, dan rumah yang atapnya rata. Kedua rumah ini menyimbolkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Bila diperhitungkan dengan seksama, jumlah rumah "laki-laki" dan rumah "perempuan" adalah sama, artinya harus saling berpasang-pasangan, seimbang. (ini agak sotoy sih. hahaha)

Rumah Lelaki dan Rumah perempuan.
Bila diperhatikan lebih detail lagi, ukiran dan lukisan yang ada di pasak rumah-rumah ini kebanyakan menggambarkan tanduk kerbau, lambang kemakmuran. Mereka punya kebiasaan menyimpan tanduk kerbau yang digunakan pada saat ada upacara ada. Tanduk kerbau ini menggambarkan semacam kemapanan dari keluarga yang bersangkutan. Mirip seperti suku Batak dan Toraja ya. Menurut guide kami, pernah dilakukan studi, dan diduga nenek moyang  suku Flores, Batak dan Toraja itu sama. Hal ini didukung oleh fakta bawa kain tenun Flores dan kain ulos hampir mirip. Lalu rumah ada batak, Toraja dan Flores, sekilas memang mirip. Masih menurut guide kami, menurut penelitian, rumah adat Flores ini merupakan lambang dari kapal terbalik, untuk menghormati nenek moyang mereka yang datang dengan menggunakan kapal. Ini masuk akal kalau dipikir-pikir. Hihihi.

"Koleksi" tanduk kerbau

Ukiran tanduk kerbau di tiang rumah-rumahan laki-laki

Satu lagi hal yang menarik dari rumah adat suku ini adalah banyak benda tajam di ujung atap tiap rumah. Bisa berupa semacam duri, bisa juga gambar orang memegang panah. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, setan itu berkeliaran di udara. Jadi dengan memasang benda tajam di atap mereka, diharapkan roh jahat itu tidak akan mengganggu keluarga mereka.



Cerita menarik dari suku ini adalah juga  kebiasaan untuk menguburkan orang meninggal di halaman rumah mereka. Di sepanjang teras kami melihat banyak monumen dari batu-batu pipih. Ini dipercaya adalah makan dari nenek moyang suku ini. Sudah ada sejak dari generasi pertama suku Bena. Sensasinya agak aneh, ketika menyadari bahwa jutaan tahun yang lalu, nenek moyang suku ini dimakamkan tepat di bawah tanah yang sedang kita pijak. Jaman dahulu, karena belum kenal  batu nisan, tempat dimakamkannya jenazah diberi batu besar sebagai penanda. Kalau sekarang sudah disederhanakan kok, beberapa makam baru sudah terlihat menggunakan nisan normal. Hihihi.


Makam kuno di depan rumah

Nisan-nisan kuno

Kita menghabiskan waktu menelusuri desa ini dari bawah sampai mentok ke atas. Dan begitu sampai di atas eh kok kenapa patung Bunda Maria. Di Flores, agama mayoritasnya adalah agama Katolik dan sudah melebur dengan kebudayaan setempat. Jadi itulah mengapa ada patung bunda maria tiba-tiba di ujung bukit desa Bena ini. Saya menyempatkan diri berdoa lalu kemudian bergabung kembali dengan rombongan yang sedang asyik menikmati pemandangan di sebuah pendopo di balik gua maria. Pemandangannya asik nian dengan Gunung Inerie di sebelah kiri.

Gua Bunda Maria di atas bukit

Pemandangan ciamik di belakang gua Maria. Latar belakang gunung Inerie

Untuk menunjang perekonomian desa ini, penduduk desa ini, terutama yang perempuan,  membuat kain tenun dan menjualnya kepada para turis. Kita bisa menyaksikan langsung bagaimana kain itu ditenun, karena mereka menenun ini semua tepat di teras rumahnya masing-masing. Kain-kain yang sudah jadi digantung di depan rumah, menghasilkan pemandangan yang cantik dari kejauhan. Ada juga yang menjual souvenir menarik  seperti gantungan kunci dan kaos.Tentu saja saya berbelanja demi bergeraknya roda perekonomian di desa ini. Hahaha.. Ikatan kepala dan kain untuk mama. Harganya berkisar antara 200 ribu - satu jutaan, tergantung tipe kainnya dan kompleksitas jaitannya. Mau nawar sebenarnya tapi ga tega. Hahaha.

Kalung taring babi :D

Kain warna warni

Menenun

Detail tenunan. Motifnya motif binatang.

Menunggu pembeli 

Waktu sudah menunjukan hampir pukul dua belas. Kita akhirnya mengucapkan salam perpisahan dan meninggalkan desa adat Bena. Hari ini setelah desa adat Bena tujuan akhirnya adalah Labuan Bajo. Perjalanan dari Bajawa ke Labuan Bajo cukup panjang. Sekitar 5-6 jam jalan darat.

Di perjalanan, kita sempat mampir ke dua tempat. Ke danau yang saya lupa apa namanya (ternyata namanya Danau Ranamese, kab Manggarai. Thanks Yosafat for email me the right name of the lake :D), hahaha, dan ke sawah laba-laba. Yang danau, kita cuma mampir numpang melihar dari pinggir jalan raya, lalu foto-foto. Danau ini kerap dijadikan tempat memancing. Maafkan, sampai detik ini saya masih lupa namanya. Hahaha.
Danau lupa namanya. hahaha. 
Kalau sawah laba-laba, ini seru. Untuk bisa melihat pola laba-laba, kita harus melihat sawahnya dari atas bukit. Perjalanan ke atas bukit ini sekitar 15-20 menit. Lumayan menanjak dan cukup biking ngos-ngosan. Pada waktu sampai di lokasi Sawah Laba-laba ini, cuaca mendung Jadi kita terburu-buru naik. Sayangnya ketika sampai puncak bukit supaya bisa melihat si sawah laba-laba ini, tiba-tiba hujan turun gerimis. Langsung deh kita terburu-buru pula mengambil foto.

Sawah Laba-Laba

Zoom In. Sawah Laba-laba
Diberi nama sawah laba-laba karena pembagian petaknya menyerupai sarang laba-laba. Ada penjelasan menariknya. Konsep sawah laba-laba ini adalah keadilan. Kepala Desa akan duduk di tengah sawah, lalu semua penduduknya akan duduk melingkar dengan jarak yang sama satu ke yang lain. Lalu Kepala desa akan menarik garis lurus dari titik tengah tempat di dia berdiri ke setiap-setiap penduduk yang sudah berkeliling. Tujuannya adalah supaya semua orang mendapat bagian sawah yang sama luasnya. Menarik ya?

Selesai dengan sawah laba-laba, perjalanan dilanjutkan. Kita menuju ke Labuan Bajo! Kita akhirnya sampai di Labuan Bajo sekitar pukul 7 malam. Tebak di mana kita menginap? Hotel Jayakarta - Labuan Bajo! Kamarnya nyaman dan enak. Dan yang paling penting : ada air panasnya! Malam itu saya mandi dengan sensasi palin nyaman se 2012. Hahaha. Malam itu kita tidur super nyenyak. Tidak sabar untuk segera memulai petualangan besok: overland Pulau Komodo!

[ ]
* Foto-foto diambil dari hasil jepretan saya, Inu, Bita dan Sapri

Tiga Puluh Tujuh

Sepuluh tahun berlalu sejak tulisan ini Dan ternyata di ulang tahun ke tiga puluh tujuh ini, gw masih meminta hal yang sama. Semoga diberi k...