Jumat, 25 Januari 2008

Kalau teman sekalian jalan-jalan di bandung sebulan terkahir ini, pasti akan sering ngeliat spanduk warna-warni dengan jenis font yang sama dan isi tulisannya :"warga kelurahan X mendukung pembangunan PLTSa di Gedebage".

Menurut gw sih, itu dibagiin ke kelurahan-kelurahan dan disuruh pasang oleh entah siapa..
memang kenapa dengan pembangunan PLTSa gedebage ini?

Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, bandung punya masalah sampah yang keterlaluan. Incinerator adalah salah saru solusi yang ditawarkan. Incinerator adalah bahasa keren dari pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).

Akhirnya, PLTSa pun direncanakan dibangung di Gedebage... Tapi, rencana pembangunan ini ditolak mentah-mentah oleh warga setempat. ITB sebagai pihak yang secara akadmeik berkompeten dimintai untuk menganalisa dan memberikan saran.
Entah siapa yang mulai, ahirnya pemkot Bandung selalu membawa-bawa ITB ketika rencana pembangunan ini diprotes warga. Jadi ya seolah-olah pembangunan PLTSa di Gedebage ini atas usulan ITB, padahal Gedebage dipilih karena kontraktor yang dipilih pemkot untuk megang proyek ini punya tanah cukup luas di sana!

Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK), unit tempat gua bernaung secara pemikiran, ga sepakat dengan rencana pembangunan PLTSa ini. Gua pribadi mengkritisi pembangunan PLTSa ini karena:

1. Gedebage adalah wilayah cekungan dan daerahnya lumayan ramai. Incinerator menghasilkan asap akibat pembakarannya. Asap yang dihasilkan di daerah cekungan ga akan ke mana-mana. Yang ada, dia bakal "jalan2" di daerah sekitar situ dan mencemari organisme di sana. Gedebage itu wilayah pertanian juga setahu gue.

2. Gedebage juga punya masalah air. Dibangunnya PLTSa di situ pasti akan menyebabkan perkara "rebutan air" antara warga sektiar dan PLTSanya.

3. Bila dipandang dari segi sistemnya, PLTSa kan memiliki input berupa sampah yang diolah sehingga menjadi listrik. Pembangunan PLTSa ini bisa saja malah menimbulkan kecenderungan "permintaan sampah" yang meningkat guna memaksimalkan fungsinya. Hal ini bertentangan dengan konsep 'mengurangi sampah'. Oiya, incinerator juga bukannya menghilangkan sampah lo, tapi mengubah sampah jadi bentuk lain, di mana proses pembentukannya dapat
menghasilkan listrik.

Incinerator ini kalau nanti dibangun, akan punya minimal pasokan sampah per hai, kalau ga salah 500 ton. Terus untuk setiap tonnya dikenakan biaya 200ribuan. Berarti sehari harus keluar sekitar 100.000.000 rupiah. kalaupun pasokannya kurang dari 500ton, biaya minimal ini tetep harus dibayar.

4.Di luar sendiri, incinerator bukanlah preferensi utama pengolahan sampah. Kalaupun ada, incinerator didirakan di daerah terpencil, bukan daerah padat macam gedebage. Itu pun masih banyak yang protes soal bahaya yang disebabkan oleh asap hasil pengolahan sampahnya. Menurut gue sih, lebih baik dukit sekian ratus m itu buat memperbaiki sistem pemilahan dan pembuangan sampah kota banduna yang amburadul ini.

Berangkat dari alasan di atas, PSIK menolak usulan pembangunan tersebut. Penolakannya diajukan tentu saja ke Pemkot Bandung. Penolakan ini pun dimua di beberapa media. [Search aja di google.] PSIK itu bagian dari ITB, padahal ITBlah yang dimintai tolong Pemkot untuk membantu menganalisa dan memberi masukan teknis tentang pembangunan PLTSa ini. Jadinya, PSIK kayak anak nakal. Singkat cerita, PSIK dipanggil rekotrat hari ini jam 2 di gedung Annex.

Dalam pertemuan itu diadakan diskusi antara PSIK, wakil rektor bidang akademik, dan Pak Ari, ketua Amdal nya. Amdal nya sudah selesai. Rektorat menjelaskan duduk perkaranya, bahwa ITB hanya dimintai tolong untuk memberikan kelebihan kekurang akan pembangunan PLTSa tersebut, dan keputusan untuk maju atau tidak bukan di tangan ITB tapi di tangan Pemkot Bandung. Di situ mereka juga menjelaskan teknis pengolahan dan sistem kerja PLTSanya. Soal asap dan air, katanya akan mengalami proses pengolahan sehingga tidak akan berbahaya lagi.

[PSIK disepetlah.. tidak akdemik, tidak ilmiah. Menyebalkan! Apakah kritsi itu tidak ilmiah? Kok ga senang sih punya mahasiswa yang berani bicara dan berani berpendapat...]

Logika kita dan rektorat lain. Menurut kita, ITB sebagai institusi pendidikan tentunya menyarankan tempat yang baik untuk dijadikan PLTSa. Tapi menurut rektorat, ITB hanyalah pihak yang disuruh menganalisa PLTSa yang akan dibangun di Gedebage. Titik. Bukan urusan ITB lah itu mau jalan atau enggak, yang jelas tugasnya ITB sudah beres. memberikan analisa, kelebihan kekurangan, dan saram-saran teknis.

Mau tau analogi jahat gua soal masalah ini?
Kalau ITB itu dokter, maka dokter ini adalah dokter yang disuruh menganalisa penggunaan obat maag untuk menyembuhkan sakit jantung. Soal benar atau tidak penggunaan obat maag tersebut terhdap penyakit jantung, itu bukan urusan sang dokter, karena dokter tersebut kan cuma disuruh bikin analisis sebagai bahan pertimbangan.

Kita tidak mewarisi alam dan lingkungan ini dari pendahulu kita, tapi kita meminjamnya dari anak cucu kita...

Ini masalah etika, ini masalah hati. Benar atau tidaknya, ini masalah hati.. Dan siapakah yang bisa mengajari kita soal kepekaan hati? yang pasti gua ragu jalan ganesha nomor 10 mengajari soal ini.

:(

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Sepertinya intinya cuman beda pendapat,ngapain juga itb sewot kalo ada yg beda pendapat toh yg nentuin tuh proyek jln ato ga kan bukan itb, harusnya itb bisa buktikan kalo alibi dari psik itu ga bener dan sebaliknya alibi dari itb ga bener bagi psik, bukannya dengan begitu makin memperkaya kajian masing2

Anonim mengatakan...

nice try..

saatnya bergerak kan?dari dulu pgn bgt ikut psik...huhuhu

trus gmna kelanjutannya?

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Tiga Puluh Tujuh

Sepuluh tahun berlalu sejak tulisan ini Dan ternyata di ulang tahun ke tiga puluh tujuh ini, gw masih meminta hal yang sama. Semoga diberi k...