Senin, 17 Mei 2010

Main ke Rumah Pak Ratijo :)

Desa Geger. Letaknya itu kurang lebih tujuh sampai delapan kilometer dari Desa Sendang. Desa Sendang itu desa tempat kakek saya tinggal, di lereng gunung Wilis. Sekitar tiga puluh menit dari kota Tulung Agung kalau naik mobil.

Sore itu saya pergi ke Desa Geger mencari rumah Pak Ratijo, orang Katolik yang tinggal di sana. Rumahnya dijadikan tempat ibadah setiap hari Minggu. Namun karena letaknya memang sangat jauh dari kota, maka perayaan Ekaristi hanya diadakan setiap minggu ke empat. Ada sekitar lima puluh orang umat Katolik gunung Wilis ini. Tempat tinggal mereka menyebar. Tiap hari minggu, mereka datang berkumpul di rumah Pak Ratijo. Sebagian besar dari mereka harus berjalan kaki berkilo-kilo meter. Perjalanan jauh untuk beribadah kawan. Yang jauh itu pasti melelahkan. Oleh karena itu, setiap hari minggu, Pak Ratijo dan istrinya selain menyediakan rumahnya sebagai tempat ibadah, juga memasak untuk mereka. Seadanya saja, semampu mereka.

Misi saya sore itu adalah mengantarkan bahan makanan ke rumah Pak Ratijo. Perjalanan dimulai! Saya, oom War, dan dua sepupu saya yang masih kelas satu SD, Raka dan Bimo, pergi ke sana. Cuacanya hujan sedari pagi. Bahan makanan tidak mungkin dibawa dengan mobil pickup karena nanti basah. Jadi dipakailah mobil sedan. Setelah perjalanan berkelok kelok selama setengah jam, sampailah akhirnya di jalan utama depan jalan kecil menuju rumah Pak Ratijo. Mobil sempat mogok waktu memutar. Jadi perlu maju mundur dengan kekuatan otot di jalan yang menanjak.

Bayangkan itu mobil sedan di dorong-dorong oleh dua anak kecil, satu gadis kece dan satu oom oom. Udah hampir nyerah karena berat banget. Tiba-tiba datang mbak mbak berbadan besar lewat dan membantu. Wusss, tenaganya mantap. Macam malaikat dia datang menyelamatkan. Baik sekali :) Mobil akhirnya bisa berputar dan menyala lagi.

Dari jalan utama, masih harus berjalan lagi sekitar tiga menit menyusuri jalan setapak. Dan akhirnya sampai! Yey yey!!

Inilah rumah sederhana Pak Ratijo. Masih berdinding kayu. Lantainya masih semen, lampunya remang-remang.

Di belakangnya ada kandang sapi.

Ada semacam gubug juga, untuk memasak, menjemur baju, menyimpan hasil kebun.

Pemandangan dari depan rumah adalah sawah dan lembah yang hijau. Tapi karena hujan waktu kami datang, jadinya tidak bisa menikmati soalnya tertutup kabut.

Sederhana. Suasana yang sangat nyaman. Meditatif. Dan mungkin itu juga yang dirasakan umat lain yang datang tiap minggu ke sini untuk bersama berdoa. Saya menyaksikan sendiri. Kenyamanan kadang adalah hal yang tidak berbanding lurus dengan nominal rupiah. Kemampuan hidup bahagia dalam kesederhanaan tiba-tiba menjadi semacam hal berharga di mata saya. Bapak Ibu Ratijo terlihat sangat bahagia. Kami disuguhkan teh, keripik pisang dan keripik singkong. Enak dan gurih. Raka dan Bimo sampai rebutan.

Lalu ini kamar anak anaknya, Ayu dan Titi. Mereka sedang belajar waktu saya datang. Saya ajak mereka kenalan, mereka lari, ngumpet di bawah meja belajarnya.

Misi selesai. Bahan makanan berhasil dibawa ke lokasi dengan selamat. Kabut turun waktu kami mau pulang.

Perjalanan pulang menuju jalan utama sudah macam petualangan di dunia fantasi saja. Tidak, ini bukan fantasi. Kabut tebal di jalan setapak itu adalah kenyataan.

Ibu dan Bapak Ratijo mengantar sampai di jalan utama. Kami pamit lalu pulang. Ada janji saya tertinggal di situ. Janji untuk live in di sana. Janji harus ditepati. Entah kapan tapi nanti pasti. Ada yang mau ikutan? Ini tawaran serius kawan. Kabar-kabari ya :)

1 komentar:

j4j mengatakan...

kabutnya seru..!!!

Tiga Puluh Tujuh

Sepuluh tahun berlalu sejak tulisan ini Dan ternyata di ulang tahun ke tiga puluh tujuh ini, gw masih meminta hal yang sama. Semoga diberi k...