Kamis, 22 Juli 2010

Beda Jalur

Ketika suatu pagi papa marah-marah karena saya pacaran sama fikri, maka saya pun menyadari bahwa saya dan orang tua saya berada di dua jalur pemikiran yang jauh berbeda mengenai pemaknaan hidup.

Haruskah itu menjadi masalah?
Harusnya tidak.

Ketika saya bilang fikri bisa mengerti saya, papa balas berargumen bagaimana mungkin bisa saling mengerti bila cuma bertemu tiga kali sudah bisa mengerti saya? Papa bilang itu dampak hubungan virtual. Hmmm, paling tidak saya tidak ditipu orang yang minta-minta duit lewat facebook seperti papa kan pa?

Ketika papa bilang romantisme dalam rambut gondrong merokok dan alkohol tidak bisa menjamin kebahagiaan saya seperti yang dialami saudara mama yang punya suami seniman gondrong, saya juga punya banyak contoh di mana suami yang klimis, rapih, pangkat bagus, masih bisa selingkuh dan meninggalkan anak istrinya. Itu bukan ukuran pa.

Ketika papa bilang dia tidak sesuai sama sekali dengan bibit bebet bobot keluarga ini, ya memang tidak. Tapi apakah kebahagiaan dan jalan hidup yang paling benar cuma ada di keluarga ini? Tiba-tiba ini seperti jaman siti nurbaya. Bahkan dulu Yesus berkawan dengan pemungut cukai dan pelacur.

Jelas dia bukan Katolik pa, tapi pemikirannya jauh lebih "Katolik" dibandingkan papa.

Apakah ini soal materi pa?
Apakah ini soal malu punya menantu yang tidak sesuai dengan pandangan baik masyarakat umum?
Apakah ini soal gagal mendidik saya sehingga memilih pacara macam itu?
Apakah ini soal takut saya tidak bisa bahagia dengan pilihan saya?

Saya sudah belajar bahwa menjustifikasi orang lewat penampilan adalah hal yang tidak sehat, seperti yang papa sering lakukan. Saya juga belajar bahwa akademik baik, penampilan rapih tidak menjamin kualitas hidup seseorang.

Tahukah pa mengapa saya nyaman berama fikri? Karena kami sama-sama beda dibanding kawan-kawan kami, dan kami menemukan kenyamanan dalam perbedaan itu, dan kami menemukan seni dari hidup ini. Tidak sekedar material. Dengan fikri saya berani bermimpi. Dengan fikri saya punya semangat lagi. Ada sesuatu di situ pa. Ada sesuatu.

Secara finansial saya sudah bisa mandiri. Secara akademik saya terbukti tidak mengecewakan. Tolong beri saya kesempatan untuk paling tidak kali ini memilih jalur hidup yang saya amin-i?

Ya ya ya saya memang takut sama papa, makanya cuma bisa menulis ini di blog yang mungkin papa juga tidak pernah baca. Kalau memang papa percaya tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, mengapa papa tidak bisa mengimani kalau ini semua terjadi bukan karena suatu alasan?

Tiap malam papa dan mama pasti berdoa dengan sepenuh hati supaya saya putus dengan fikri dan semoga saya menemukan orang yang lebih layak untuk dijadikan suami. Dan akhirnya mungkin saya akan lelah, lalu hubungan ini berakhir, lalu papa bisa menjodohkan saya dengan anak teman papa itu.

Kita tidak tahu apa yang terjadi ke depan pa. Tapi saya sadar betul sekarang. Kita berada di dua jalur pemikiran yang berbeda. Harusnya itu tidak menjadi masalah kan?

Jumat, 16 Juli 2010

Tentang Kerjaan

Hal yang membuat saya senang bekerja di tempat saya yang sekarang adalah :

1. Perusahaan ini sungguh memiliki pemikiran yang serius soal energi. Sadar akan adanya masalah luar biasa tentang energi, dan datang dengan memberikan skenario nyata yang ga sekedar omong biasa. Blue print scenario. Mendorong inidivisu, kelompok, perusahaan untuk mengurangi pemakaian energi dan investasi besar-besaran di pengembangan energi alternatif.

2. Program CSR perusahaan ini mantap sekali.. Cuma tiga, tapi bagi saya tepat sasarang. Sudah pernah ke amandijalan.com? Pernah dengar Lifewire? Atau anak ITS yang menang lomba bikin mobil di malaysia? Ini bener-bener CSR yagn supercool! Hahahaha.

3. Hehehe. Ini juga penting nih. Country Chairmannya inspiring banget. Pak Darwin Silalahi. Beliau ngasih pengantar langsung tentang perusahaan ini ke kita kita anak baru. Orangnya low profile banget, humoris dan sangat visioner.

Hehehe. Tuhan selalu punya rencana yang manis. Penantian 8 bulan tidak sia-sia. Sungguh senang dengan tempat kerja ini :)

Minggu, 11 Juli 2010

Dua Tiga

Sekarang dua tiga Gitaditya.
Kamu mau apa?
Kebijaksanaan.
Itu saja?
Iya.
Kebijakasanaan untuk bersikap dan membahagiakan semuanya.
Itu utopia.
Tapi boleh kan?
Kamu harus memilih biasanya.
Bila saya harus memilih membahagiakan siapa, bagaimana dengan kebahagiaan saya?
Kamu tahu cinta?
Iya.
Kalau kamu cinta, kebahagiaanmu tidak sepenting itu lagi.
Jadi, siapa yang lebih kamu cinta?
Entah.
Entah. Sungguh entah.
Entah ayah saya, entah calon ayah dari anak-anak saya.
Kamu menggenggam terlalu erat.
Iya, saya takut jatuh.
Hahahaha.
Yin yang.
Keseimbangan.
Hidup itu tidak adil.
Terima saja makanya.
Iya.
Dan saya belajar untuk tidak mengeluh.
Harus.
Belajar untuk tidak takut juga.
Takut apa?
Iya, tidak takut kehilangan hal-hal yang saya ingin agar itu selalu ada di dalam saya.
Toh, kita tidak pernah benar-benar memiliki sesuatu kan.
Kamu tidak takut kehilangan dia?
Tidak. Tidak lagi.
Karena dia memang tidak akan pernah hilang apa pun yang terjadi nanti.
Maksudnya?
Iya, ketegarn ini, kekuatan ini, semua itu dia yang menanamnya.
Kalaupun akhirnya dia tidak untuk saya, jejaknya tetap di sini.
Kamu sedih kah tapi?
Sangat.
Tapi hidup memang tidak adil kan.
Hahaha. Iya.
Kamu dua tiga Gitaditya.
Iya. Saya sudah dua tiga.

---

Selasa, 06 Juli 2010

Sepuluh Hal tentang Saya yang Mungkin Anda Belum Tahu

catatan:Postingan ini adalah hasil lempar-lemparan teman-teman saya di situs blog kelola bersama paling rame sejagat raya, kompasiana. Diawali dari punya Fikri, Dee Dee, Sabrina, Zeina, Gibic, dan Andi Gunawan! Sekarang giliran saya deh.. Hehehe.


Satu.

Saya lahir di luar negeri loh! Hahaha. Di mana? Avignon. Prancis Selatan! Bangga? Iyalah. Walaupun ayah saya kala itu hanya berstatus mahasiswa kere dan sebagian besar pakaian saya didapat dari sumbangan gereja setempat, tapi foto bayi saya paling kece, keren dan paling banyak dibanding adek-adek saya. Hahahaha. Cuma kalau soal akte kelahiran, saya suka malu. Akte kelahiran ala negeri Prancis cuma kertas biasa diketik manual. Kalau Indonesia punya, dicetak di kertas tebal dengan halaman berbordir warna-warni. Bikin iri. Hihihi.

Dua.

Saya tuli setengah. Jadi kan telinga saya, seperti telinga manusia normal lainnya, ada dua: yang kiri dan yang kanan. Yang kiri normal, yang kanan tuli. Kalau saya digolongkan tuli ya tidak tepat, karena saya bisa mendengar dengan baik dengan satu telinga saja. Kalau saya digolongkan normal, hmmmm agak kurang tepat juga. Saya tidak bisa menelpon dengan telinga kanan, tidak menguping dengan telinga kanan, dan tidak menoleh kalau dipanggil dari sebelah kanan. Tuli satu dari dua. Setengah. Hahaha. Kenapa sebabnya? Nah, ini masih menjadi misteri terbesar abad ini. Dokter ahli berspekulasi mungkin ada gangguan ketika saya masih dalam perut mama, atau waktu saya berumur dua, tiga tahun, telinga saya dibersihkan dengan tidak benar sehingga merusak saraf saya.

Tiga.

Suara saya bagus. Hahahaha. Congkak. Biarin. Saya penyanyi gereja yang patut diteladani. Suara saya merdu, tidak fals, intonasi jelas, dan saya menghayati tiap kata yang terucap. Saya percaya bernyanyi itu dua kali berdoa. Saya mungkin slengekan, ke gereja bolong bolong, kalau mau makan ga berdoa, kalau mau tidur atau bangun pagi apalagi. Tapi kalau saya dapat tugas bernyanyi di misa minggu, saya akan bernyanyi dengan segenap hati. Beneran deh. Hehehe.

Empat.

Saya pintar. Saya lulus bulan Oktober, itu cukup tepat waktu, dan menyandang predikat cum laude. Saya bangga. Hahaha. Congkak bab dua. Teman saya pernah memaki "Anjing!" waktu tahu itu. Saya balas memaki "Anjing!" juga. Memangnya gampang? Enak saja. Capek tahu! Susah pula! Di dunia ga ada yang datang cuma cuma kan? Semua ada harganya. Minimal usaha. Gw ga percaya hoki. Hoka hoka bento lebih menarik. Murah dan mengenyangkan.

Lima.

Pacar saya keren!! Hahaha. Congkak bab tiga. Maaf ya. Saya sedang dimabuk cinta.

Enam.

Tampang saya menipu. Maksudnya? Hmm. Mungkin potongan kalimat yang terucap dari salah satu kawan mama saya ketika pertama kali bertemu saya dapat membantu anda memahami maksud saya.

"Adeknya si Paskal ya? Kelas berapa?
Oh, kakaknya? Sudah kuliah dong. Semester berapa?
Apa? Sudah lulus? Sudah kerja? Imut banget tampangnyaaaaaaaa."

Iya, betul! Tampang saya imut-imut. Hahahaha. Congkak bab empat. Menipu. Menipu secara usia, juga menipu secara kelakuan mungkin ya. Pernah ada yang bilang, tampang saya tidak mencerminkan tulisan-tulisan saya. Hahahaha.

Tujuh.

Saya sedang mencari novel trilogi karya Dian Bara. Ceritanya soal kehidupan anak remaja Bandar Lampung. Tokoh utamanya adalah tiga anak kembar yang tingga bersama ayah mereka yang namanya Rana dan ibunya sudah meninggal. Saya membaca novel ini di perpustakaan PPAI Medan. Novel ini yang mengawali ketertarikan saya akan dunia tulis menulis. Ada yang bisa bantu saya mencari trilogi novel ini?

Delapan.

Saya suka musik paduan suara, saya suka film mandarin di Celestial Movie, saya suka menikmati foto dan lukisan, saya suka baca anggurmerah dan spasi, saya benci kenapa Dewi Lestari tidak melanjutkan serial Supernovanya dan mandeg di Petir, saya suka hiking, saya suka MEW, saya suka nasi goreng kambing tidak pedas, saya suka jalan-jalan naik busway, saya suka pantai, saya suka juga jalan kaki, saya suka hujan-hujanan asal bukan di Jakarta, saya lucu tapi timing nya selalu tidak tepat (baca: garing), saya bisa masak nasi sama sayur sama indomie, saya punya sim A tapi takut menyetir mobil, saya mengikuti serial komik "Yugo The Negotiator", saya suka ngomong "sibegobego!", saya suka " Flight of The Conchords", saya ngefans dengan filmnya "Christopher Nolan", saya tidak umum ya. Hahahaha.

Sembilan.

Saya dulu sempat suka menghina-hina alay. Jengah dengan tingkah polahnya di situs pertemanan masa kini. Tapi suatu hari saya merenung dan saya kemudian menyadari sesuatu hal. Dulu saya juga sempat jadi alay di masanya. Alay dengan tulisan besar kecil, membeli majalah remaja terbaru, ikut program" Smart Camp Gadis 2001", melabeli diri dengan nama "Anak Gaul!". Bedanya, dulu belum ada itu handphone dan itu situs pertemanan dunia maya. Jadi ini masalah teknologi. Kalau saya menghina mereka, saya menghina masa-masa yang membentuk karakter saya jadi seperti ini dong? Maka saya mulai berhenti menghina-hina alay. Turun level jadi mengomentari alay saja. Kan mensana in komensianers. Jadi alay juga manusia kawan. Saya belajar untuk tidak menjadi hipokrit!

Sepuluh.

Sebenar-benarnya ya, saya itu BENCI sekali harus membuat tulisan ini. Sumpah. Saya kan pemalu, jadi kurang gemar mengeksploitasi perihal diri sendiri gitu. Selain itu saya jiper. Saya takut kalah lucu dan kalah menarik dibanding persepuluhan kawan kawan keren saya sebelum-sebelumnya.

Tapi tapi tapi.. Tiba tiba saya ingat bahwa saya itu kece, keren, pintar, dan imut-imut. Kepercayaan diri saya perlahan tumbuh. Saya akhirnya merampungkan tulisan ini. Hahahahaha.

:)

Selesai kewajiban saya! Sekarang bola panas ini saya lemparkan ke mas ganteng Adityo Pregianto! Hura! Hura!

---


Tiga Puluh Tujuh

Sepuluh tahun berlalu sejak tulisan ini Dan ternyata di ulang tahun ke tiga puluh tujuh ini, gw masih meminta hal yang sama. Semoga diberi k...