Pernah ada seseorang yang bilang bahwa travelling itu adalah perjalanan untuk menemukan tempat pulang.
Untuk pertama kalinya di bulan ini tiga orang terdekat saya menunjukan keberatan akan banyaknya jalan-jalan yang saya lakukan. Ayah saya dan dua sahabat curhat.
Yang dua sahabat curhat ini semata mata karena mereka pikir dengan tingginya intensitas jalan-jalan saya dan rajin pamernya saya di socmed, itu akan membuat saya semakin susah dapet pacar. Mereka khawatir. Maklum, biasanya jadi partner jomblo, sekarang dua duanya sudah dapet pacar.
Yang ayah saya, yah begitulah. Berawal dari ajakan untuk berlibur 8 hari yang saya tawar menjadi 6 hari, kericuhan terjadi berujung pada berbagai macam kata-kata yang menyiratkan bahwa saya anak yang ga tahu diri dan sudah ga menghargai beliau sebagai orang tua karena saya asik mementingkan kepentingan saya sendiri. Mulai dari kalimat "Kamu tinggal di sini sudah kayak di hotel", "tidak ada interaksi yang berkualitas di antara kita, kalian udah ga menganggap papa", sampai "kalau mau keluar saja dari rumah ini. tinggal sendiri, kan kalian sudah mandiri, sudah bisa cari duit sendiri."
Sesungguhnya saya sungguh tidak terima. Alasan saya bukan alasan yang egois. Alasan saya adalah karena saya mendapat tugas paduan suara di hari Minggu, sehingga saya menolak untuk berangkat hari Sabtu. Teman-teman lain banyak yang tidak mau bertugas karena itu sudah mendekati libur lebaran. Intinya tidak ada yang mau tugas di hari itu dan karena waktu itu belum ada rencana liburan apa pun, saya menyediakan diri untuk bertugas.
Yang tidak saya pahami adalah kemarahan ayah saya karena alasan tadi. Bukannya saya tidak mau berlibur bersama keluarga. Saya sangat ingin. Berapa kali saya mengajukan ide, tapi ditolak karena alasan finansial. Dan saya pikir tugas pelayanan Gereja bukanlah hal yang buruk, itu pelayanan. Saya merasa alasan saya bukanlah alasan yang egois karena toh ayah saya juga yang mendorong saya untuk aktif di gereja.
Semua nilai nilai yang saya pegang lagi-lagi jatuh berantakan di hadapan ayah saya.
Hal yang paling menyakitkan bagi saya adalah kata-kata ayah saya yang menyiratkan seolah saya betul betul anak yang durhaka. Semua kejutan ulang tahun untuk ayah saya, sesi masak memasak, menemani ketika dia sakit, putus dengan orang yang sangat saya sayangi karena tidak direstui, semuanya rasanya tidak ada artinya sama sekali. Sakit rasanya. Lebih sakit dibandingkan berantem sama pacar. Saya kehabisan kata-kata. Cuma bisa menangis karena sudah tidak paham lagi.
Saya lalu bercerita kepada salah satu teman, dan dia memberikan persepsi lain, tentang quality time dengan keluarga, dan bahwa keluarga adalah yang utama. Walaupun saya merasa saya sudah memprioritaskan keluarga di atas segalanya, namun ternyata kadang tidak terasa begitu.
"I think I already prioritize my family"
"Not already Git. Always."
Sekarang sudah baikan. Ayah saya juga minta maaf dan bilang "Kamu sebentar lagi bukan punya papa." Posesif.
Entahlah. Dengan segala pengalaman ini saya gentar. Gentar untuk memulai sebuah keluarga. Takut saya menjadi sebuah tempat pulang yang posesif. Saya tidak mau menjadi istri yang posesif, ibu yang posesif. Dan dengan sifat tempramen dari ayah saya yang sungguh mengalir sederas-derasna dalam diri saya, saya tidak yakin apakah saya akan meredam itu kelak. Saya tidak ingin memiliki anak dan suami yang frustasi karena tempramen saya. Sungguh saya takut memiliki keluarga.
Pulang. Keluarga adalah tempat pulang. Dari manapun itu.
Saya pikir setelah hampir 3 tahun terus berkeliling, saatnya saya untuk berhenti sejenak dan benar-benar pulang. Menyelesaikan dan mengobati diri saya sendiri. Saya baru menyadari, awal dari kegemaran saya berpetualang adalah karena saya bisa menghindari rasa sakit dan tidak nyaman dalam keluarga saya dengan segala problematikanya itu. Sampai sekarang, lukanya ternyata masih ada dan masih terasa sakit. Saya tidak tahu bagaimana menyelesaikannya, yang saya tahu saya harus berhenti sejenak, entah sampai kapan.
Saya takut. Takut merasa tertekan dan takut tidak bahagia. Tapi takut hanya akan membuat seseorang semakin ciut. Saya tidak ingin ciut. Saya ingin berbunga dan merekah. Mencoba untuk menjadi "orang biasa". Mencoba menemukan hal-hal kecil yang membuat bahagia dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus berlarut pergi ke tempat yang jauh. Mencoba untuk benar-benar pulang.
Semoga
Untuk pertama kalinya di bulan ini tiga orang terdekat saya menunjukan keberatan akan banyaknya jalan-jalan yang saya lakukan. Ayah saya dan dua sahabat curhat.
Yang dua sahabat curhat ini semata mata karena mereka pikir dengan tingginya intensitas jalan-jalan saya dan rajin pamernya saya di socmed, itu akan membuat saya semakin susah dapet pacar. Mereka khawatir. Maklum, biasanya jadi partner jomblo, sekarang dua duanya sudah dapet pacar.
Yang ayah saya, yah begitulah. Berawal dari ajakan untuk berlibur 8 hari yang saya tawar menjadi 6 hari, kericuhan terjadi berujung pada berbagai macam kata-kata yang menyiratkan bahwa saya anak yang ga tahu diri dan sudah ga menghargai beliau sebagai orang tua karena saya asik mementingkan kepentingan saya sendiri. Mulai dari kalimat "Kamu tinggal di sini sudah kayak di hotel", "tidak ada interaksi yang berkualitas di antara kita, kalian udah ga menganggap papa", sampai "kalau mau keluar saja dari rumah ini. tinggal sendiri, kan kalian sudah mandiri, sudah bisa cari duit sendiri."
Sesungguhnya saya sungguh tidak terima. Alasan saya bukan alasan yang egois. Alasan saya adalah karena saya mendapat tugas paduan suara di hari Minggu, sehingga saya menolak untuk berangkat hari Sabtu. Teman-teman lain banyak yang tidak mau bertugas karena itu sudah mendekati libur lebaran. Intinya tidak ada yang mau tugas di hari itu dan karena waktu itu belum ada rencana liburan apa pun, saya menyediakan diri untuk bertugas.
Yang tidak saya pahami adalah kemarahan ayah saya karena alasan tadi. Bukannya saya tidak mau berlibur bersama keluarga. Saya sangat ingin. Berapa kali saya mengajukan ide, tapi ditolak karena alasan finansial. Dan saya pikir tugas pelayanan Gereja bukanlah hal yang buruk, itu pelayanan. Saya merasa alasan saya bukanlah alasan yang egois karena toh ayah saya juga yang mendorong saya untuk aktif di gereja.
Semua nilai nilai yang saya pegang lagi-lagi jatuh berantakan di hadapan ayah saya.
Hal yang paling menyakitkan bagi saya adalah kata-kata ayah saya yang menyiratkan seolah saya betul betul anak yang durhaka. Semua kejutan ulang tahun untuk ayah saya, sesi masak memasak, menemani ketika dia sakit, putus dengan orang yang sangat saya sayangi karena tidak direstui, semuanya rasanya tidak ada artinya sama sekali. Sakit rasanya. Lebih sakit dibandingkan berantem sama pacar. Saya kehabisan kata-kata. Cuma bisa menangis karena sudah tidak paham lagi.
Saya lalu bercerita kepada salah satu teman, dan dia memberikan persepsi lain, tentang quality time dengan keluarga, dan bahwa keluarga adalah yang utama. Walaupun saya merasa saya sudah memprioritaskan keluarga di atas segalanya, namun ternyata kadang tidak terasa begitu.
"I think I already prioritize my family"
"Not already Git. Always."
Sekarang sudah baikan. Ayah saya juga minta maaf dan bilang "Kamu sebentar lagi bukan punya papa." Posesif.
Entahlah. Dengan segala pengalaman ini saya gentar. Gentar untuk memulai sebuah keluarga. Takut saya menjadi sebuah tempat pulang yang posesif. Saya tidak mau menjadi istri yang posesif, ibu yang posesif. Dan dengan sifat tempramen dari ayah saya yang sungguh mengalir sederas-derasna dalam diri saya, saya tidak yakin apakah saya akan meredam itu kelak. Saya tidak ingin memiliki anak dan suami yang frustasi karena tempramen saya. Sungguh saya takut memiliki keluarga.
Pulang. Keluarga adalah tempat pulang. Dari manapun itu.
Saya pikir setelah hampir 3 tahun terus berkeliling, saatnya saya untuk berhenti sejenak dan benar-benar pulang. Menyelesaikan dan mengobati diri saya sendiri. Saya baru menyadari, awal dari kegemaran saya berpetualang adalah karena saya bisa menghindari rasa sakit dan tidak nyaman dalam keluarga saya dengan segala problematikanya itu. Sampai sekarang, lukanya ternyata masih ada dan masih terasa sakit. Saya tidak tahu bagaimana menyelesaikannya, yang saya tahu saya harus berhenti sejenak, entah sampai kapan.
Saya takut. Takut merasa tertekan dan takut tidak bahagia. Tapi takut hanya akan membuat seseorang semakin ciut. Saya tidak ingin ciut. Saya ingin berbunga dan merekah. Mencoba untuk menjadi "orang biasa". Mencoba menemukan hal-hal kecil yang membuat bahagia dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus berlarut pergi ke tempat yang jauh. Mencoba untuk benar-benar pulang.
Semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar