Jadi kawan kawan, ini adalah cerita perjalanan saya, Inu dan Bita ke pulau Sumba bulan Mei 2014 lalu Cerita hari pertama bisa dibaca di sini, cerita tentang Danau Wekuri dan Pantai Mandorak bisa dibaca di sini.
Menurut rencana perjalanan, hari ini kami masih bisa mengunjungi dua tempat lagi, yaitu desa adat Ratenggaro dan menikmati matahari tenggelam di Pantai Pero.
Desa Adat Ratenggaro
Kami sampai di desa adat Ratenggaro sekitar jam tiga sore. Desa adat Ratenggaro ini termasuk salah satu desa adat yang wajib dikunjungi di Sumba karena memiliki makam yang berasal dari jaman megalitikum, jaman pra sejarah di mana manusia masih menggunakan peralatan yang terbuat dari batu. Desa ini terletak di pinggir pantai Ratenggaro. Salah satu hal lain yang khas dari desa ini adalah atap rumah adatnya yang menjulang tinggi ke atas.
Oiya, asal nama desa ini sedikit agak menyeramkan sih. Rate itu artinya kuburan, sedangkan Garo artinya orang-orang Garo. Mengapa demikian? Jadi begini, ketika masih terjadi perang antar suku, suku dari orang yang sekarang menjadi penghuni desa ini berhasil merebut desa orang-orang Garo. Di jaman itu, kalau kalah perang ya dibunuh semua dan dikubur di situ juga. Jadilah ini tempat dikuburnya orang-orang Garo. pada jaman itu, katanya kalau menang perang, kepala orang-orang yang dikalahkan itu digantung di atap rumah loh. Serem ya.
Hampir sama seperti orang Flores dan orang Toraja, di rumah adatnya, ada rahang babi dan tanduk kerbau yang digantung sebagai simbol bahwa yang punya rumah pernah melaksanakan upacara adat. Lumayan mahal juga loh, kalau buat babi bertaring harganya itu 30 jutaan, kalau kerbau sekitar 35 jutaan.
Rumah adat Sumba memiliki 4 tingkat. Bentuknya adalah rumah panggung. Paling bawah adalah tempat hewan peliharaan. Lalu tingkat kedua adalah tempat manusia tinggal, setelah itu di atasnya ada tempat untuk menyimpan hasil panen, biasanya digantung. Kemudian di atas tempat memasak ada sebuah kotak yang merupakan tempat menyimpan benda keramat. Paling atas, di puncak rumah adat, diletakkan tanduk kerbau sebagai tanda kemuliaan.
Rumah adat Sumba biasanya didirikan bersama-sama oleh beberapa keluarga. Bila ada rumah adat yang rubuh, dipercaya bahwa telah terjadi perselisihan antara keluarga yang tinggal didalamnya. Orang Sumba percaya bahwa rumah memerlukan pondasi yang kuat supaya tidak rubuh, dan pondasi yang paling kuat adalah keharmonisan antar keluarga yang tinggal di dalamnya. Sungguh dalam dan penuh makna.
Seperti yang sudah saya bilang di atas, Desa adat Ratenggaro ini memiliki kuburan yang berasal dari jaman megalitikum, atau sekitar tahun 900an. Kuburan ini dipercaya adalah kuburan milik seorang raja bernama Ratendalih (semoga bener nih gw baca tulisan tangan gw sendiri, hahaha). Ratendalih punya tiga istri. Istri pertsama diberi desa Ratenggaro, istri kedua diberikan desa yang lain, istri ketiga tidak punya anak, jadi ga dapet jatah desa. Ketika Ratendalih meninggal, dia memililh dikuburkan di desa Ratenggaro.
Di desa-desa adat yang ada di Sumba sendiri, bisa dilihat ada beberapa macam jenis kuburan. Ini menggambarkan perubahan bentuk kuburan adat sesuai dengan berjalannya waktu.
1. Kotak-kotak kecil, ini adalah kuburan yang paling tua, karena waktu itu jumlah orangnya masih sedikit.
2. Kotak dengan atap berbentuk bulat, tidak ada penjelasan lebih lanjutnya
3. Kotak dengan ukuran yang lebih besar, ini karena jumlah orang semakin banyak,
4. Kotak dari beton, ini adalah kuburan yang palinf modern.
Bila ada ukiran seperti yang terlihat di foto kami di atas, ukiran ini menunjukan jumlah harta kekayaan yang dia miliki ketika masih hidup.
Desa adat Ratenggaro ini terletak di pinggir pantai, kerap juga disebut desa mengapung, karena bila air laut pasang, dari kejauhan desa ini seolah-olah mengapung di atas air.
Di desa ini, sistem pariwisatanya sudah berjalan dengan baik. Ketika kita datang, ada semacam guide yang tak lain adalah kepala desa dari desa Ratenggaro ini yang menyambut, mempersilakan mengisi buku tamu, dan memberikan penjelasan yang sangat rinci mengenai desa ini. Penduduknya juga cukup ramah dan fasih berbahasa Indonesia. Kami menyempatkan diri mengobrol sambil melihat beberapa barang yang dijual oleh penduduk setempat.
Saya memutuskan membeli sebuah kalung dengan bentuk yang dinamai "mamoli". Waktu saya tanya, katanya ini adalah simbol untuk wanita dari keluarga bangsawan, simbol kecantikan. Belakangan saya baru tahu bahwa mamoli ini menyimbolkan rahim wanita :)
Waktu sudah menunjukan pukul empat lewat, kami lalu bergegas mengakhiri kunjungan. Oiya, sampai sekarang kadang-kadang saya masih SMSan sama kepala desanya. Hehehe.
Pantai Pero
Hari kedua ditutup dengan melihat matahari terbenam di Pantai Pero. Ini adalah pantai dengan pemandangan matahari terbenam paling cantik nomor dua setelah kepulauan Komodo. Cantiknya bukan main. Biar gambar saja yang bercerita ya.
Sunset di pantai ini dramatis!
Tak lupa kita juga merekam video 360 di sini. Hahaha.
Menurut rencana perjalanan, hari ini kami masih bisa mengunjungi dua tempat lagi, yaitu desa adat Ratenggaro dan menikmati matahari tenggelam di Pantai Pero.
Desa Adat Ratenggaro
Kami sampai di desa adat Ratenggaro sekitar jam tiga sore. Desa adat Ratenggaro ini termasuk salah satu desa adat yang wajib dikunjungi di Sumba karena memiliki makam yang berasal dari jaman megalitikum, jaman pra sejarah di mana manusia masih menggunakan peralatan yang terbuat dari batu. Desa ini terletak di pinggir pantai Ratenggaro. Salah satu hal lain yang khas dari desa ini adalah atap rumah adatnya yang menjulang tinggi ke atas.
Oiya, asal nama desa ini sedikit agak menyeramkan sih. Rate itu artinya kuburan, sedangkan Garo artinya orang-orang Garo. Mengapa demikian? Jadi begini, ketika masih terjadi perang antar suku, suku dari orang yang sekarang menjadi penghuni desa ini berhasil merebut desa orang-orang Garo. Di jaman itu, kalau kalah perang ya dibunuh semua dan dikubur di situ juga. Jadilah ini tempat dikuburnya orang-orang Garo. pada jaman itu, katanya kalau menang perang, kepala orang-orang yang dikalahkan itu digantung di atap rumah loh. Serem ya.
Hampir sama seperti orang Flores dan orang Toraja, di rumah adatnya, ada rahang babi dan tanduk kerbau yang digantung sebagai simbol bahwa yang punya rumah pernah melaksanakan upacara adat. Lumayan mahal juga loh, kalau buat babi bertaring harganya itu 30 jutaan, kalau kerbau sekitar 35 jutaan.
Rumah adat Sumba memiliki 4 tingkat. Bentuknya adalah rumah panggung. Paling bawah adalah tempat hewan peliharaan. Lalu tingkat kedua adalah tempat manusia tinggal, setelah itu di atasnya ada tempat untuk menyimpan hasil panen, biasanya digantung. Kemudian di atas tempat memasak ada sebuah kotak yang merupakan tempat menyimpan benda keramat. Paling atas, di puncak rumah adat, diletakkan tanduk kerbau sebagai tanda kemuliaan.
Tempat Penyimpanan Benda Keramat |
Seperti yang sudah saya bilang di atas, Desa adat Ratenggaro ini memiliki kuburan yang berasal dari jaman megalitikum, atau sekitar tahun 900an. Kuburan ini dipercaya adalah kuburan milik seorang raja bernama Ratendalih (semoga bener nih gw baca tulisan tangan gw sendiri, hahaha). Ratendalih punya tiga istri. Istri pertsama diberi desa Ratenggaro, istri kedua diberikan desa yang lain, istri ketiga tidak punya anak, jadi ga dapet jatah desa. Ketika Ratendalih meninggal, dia memililh dikuburkan di desa Ratenggaro.
Di desa-desa adat yang ada di Sumba sendiri, bisa dilihat ada beberapa macam jenis kuburan. Ini menggambarkan perubahan bentuk kuburan adat sesuai dengan berjalannya waktu.
1. Kotak-kotak kecil, ini adalah kuburan yang paling tua, karena waktu itu jumlah orangnya masih sedikit.
2. Kotak dengan atap berbentuk bulat, tidak ada penjelasan lebih lanjutnya
3. Kotak dengan ukuran yang lebih besar, ini karena jumlah orang semakin banyak,
4. Kotak dari beton, ini adalah kuburan yang palinf modern.
Bila ada ukiran seperti yang terlihat di foto kami di atas, ukiran ini menunjukan jumlah harta kekayaan yang dia miliki ketika masih hidup.
Desa adat Ratenggaro ini terletak di pinggir pantai, kerap juga disebut desa mengapung, karena bila air laut pasang, dari kejauhan desa ini seolah-olah mengapung di atas air.
Desa Ratenggaro dari kejauhan |
Tanda Mata dari Ratenggaro |
Mamoli |
Waktu sudah menunjukan pukul empat lewat, kami lalu bergegas mengakhiri kunjungan. Oiya, sampai sekarang kadang-kadang saya masih SMSan sama kepala desanya. Hehehe.
Pantai Pero
Hari kedua ditutup dengan melihat matahari terbenam di Pantai Pero. Ini adalah pantai dengan pemandangan matahari terbenam paling cantik nomor dua setelah kepulauan Komodo. Cantiknya bukan main. Biar gambar saja yang bercerita ya.
selfie dulu |
Pantai Pero di"pagari" oleh barisan karang |
Air yang bning dan nelayan yang sedang mencari ikan yang terperangkap |
Dramatis |
Kiss the sun! |
Oh iya. Jalan menuju pantai ini belum benar-benar bisa disebut jalan sih. Kita harus melewati hutan hutan dulu. Dan sepanjang jalan ke sini tidak ada lampu jalannya. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Tambolaka sebelum matahari terbenam. Daaaan kami kelaparan setengah mati, belum makan dari pagi karena tidak ada tempat makan sepanjang jalan.
Dan berakhirlah perjalanan hari kedua. Malam ini adalah malam terakhir kami di Tambolaka. Besok perjalanan dilanjutkan ke Sumba Tengah, rencananya kami akan menginap di Sumba Nautil Resort. Agenda besok lumayan padat, ada Kampung Adat Tarong, Wakelo Sawah, Air Terjun Lapopu dan Pantai Marosi! Jadi nantikan catper Sumba hari ketiga dalam waktu dekat ya ;)
[ ]
3 komentar:
halo gita. aku boleh minta itinarary sama contact driver dan mobil di sumba ? thanjs
halo gita. aku boleh minta itinarary sama contact driver dan mobil di sumba ? thanjs
halo Nadita!
hp aku rusak januari kemarin dan banyak nomor yang hilang :( untuk driver, kita nyari sendiri minta tolong pihak hotel. Mereka yang akan nyariin buat kita :)
Posting Komentar