Minggu, 12 Mei 2013

Rinjani, Pelajaran Tentang Kesabaran

Akhirnya hari yang tidak ditunggu-tunggu itu tiba. Kenapa tidak ditunggu-tunggu? Karena memang timingnya sedang tidak OK. Dua minggu sebelum trip ini, saya operasi gigi, cabut gigi bungsu empat-empatnya. Hasilnya? Tidak bisa makan. Seminggu kemudian ada acara kantor, dan banyak kerjaan di sana sini. Saya sama sekali tidak ada waktu untuk mempersiapkan perjalanan ini dengan baik.

Trip naik gunung Rinjani. tadinya saya pikir ini adalah seperti trip-trip santai lainnya. Saya salah besar. Naik gunung itu bukan sekedar travelling. Naik gunung itu urusannya fisik dan mental. Belakangan saya baru tahu kalau gunung Rinjani itu adalah gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia. Jeng jeng. Jadi perjalanan ini, tanpa saya sadari, adalah sebuah ujian fisik dan mental terberat yang saya dapatkan tahun ini.

Si cantik Rinjadi dari titik awal pendakian

Saya tidak akan bercerita soal bagaimana rute untuk naik gunung Rinjani seperti tulisan-tulisan travelling saya yang biasanya. Saya lebih ingin berbagi perasaan dan pemikiran saya setelah naik gunung Rinjani. Pengalaman 5 hari terakhir ini begitu menyentuh saya. Mungkin agak lebay, tapi sebagai anak pantai, naik gunung ini bener-bener sesuatu banget. Menurut kawan saya, paling seminggu setelah ini saya juga jadi biasa aja. Hahaha.

Ujian Fisik.

Rinjani adalah ujian fisik bagi siapapun yang ingin mencapai puncaknya. Tanjakan 45 derajat dengan tanah berupa pasir berbatu. Kalau kita naik tiga langkah, ndelosor turun satu langkah. Saya dengan fisik pas-pasan begini butuh TUJUH jam untuk bisa mencapai puncaknya.

Tanjakan naik menuju ke Puncak Rinjani

Total perjalanan yang harus ditempuh dari naik sampai turun lagi itu sekitar 30 km. Sempat juga ada hari di mana saya tidak tidur sama sekali selama 24 jam dan 90% dari 24 jam itu dihabiskan dengan berjalan kaki. Bukan berjalan di jalan yang datar ya, tapi juga berbatu, berpasir dengan sudut kemiringan kadang-kadang sampai 90 derajat. GILA-GILAAN deh pokoknya. Tapi ya itu, ternyata kalau kita punya tekad dan urusannya adalah hidup atau mati, entah mengapa kita bisa dapat energi untuk melakukan hal paling ga masuk akal sekalipun. Contohnya? Manjat-manjat bukit batu di pinggir jurang sambil merangkak-merangkak bawa carrier jam 11 malam. Sampai malam ini saya masih terkagum-kagum dengan kemampuan badan saya bertahan sejauh itu.

Ujian Mental

Dari perjalanan ini, terutama ketika summit attack, itu adalah pertarungan di dalam diri saya sendiri. Perasaan ingin berhenti, ingin duduk saja, tidak sanggup melakukan apa pun versus gengsi untuk menaklukkan puncak Rinjani. Saya sempat menyerah. Saya cuma terduduk tidak berdaya. Saya sempat menangis karena sepertinya hanya saya seorang yang ketinggalan dan sepertinya tidak akan mampu sampai puncak.

Di tengah doa dan keputus-asaan, tiba-tiba ada seorang porter lewat sambil bilang : "Gunung Rinjani ini melatih kesabaran mbak. Mbak haru sabar." Jeng jeng. Ini seperti Tuhan membalas doa saya. Sabar. Itu kuncinya. Secapek apa pun, seberat apapun, semenyebalkan apapun, semua akan berlalu asal dikerjakan dengan sabar. Berbekal petuah sabar itu, satu jam kemudian saya berhasil sampai di puncak!

Finally! I'm the last of the group that reach the summit :D

Pemandangan dari atas rinjani bagus. Tapi saya pernah lihat yang lebih bagus. Menurut saya, sunrise di Kelimutu jauh lebih eksotis. Tapi kepuasan batin yang saya dapatkan sungguh berlipat-lipat ganda. Ini bukan masalah pemandangan. Mengutip kata-katanya Larissa, ini adalah "me vs the mountain". Rasanya bangga sekali bisa sampai di puncak Rinjani!

Saya sering mendengar bahwa di gunung, karakter asli seseorang akan keluar. Selama perjalanan pulang saya merenung, apa karakter asli saya? Si cengeng, tukang mengeluh, bawel, suka mau tau urusan orang, si heboh, drama queen? Saya juga mengamati karakter teman-teman satu tim saya. Dan saya belajar banyak dari mereka. BANYAK. Saya merasa malu karena kadang-kadang saya merasa sepertinya saya yang paling nyusahin di grup itu. Tapi apa pun itu, trip ini menambah daftar kawan-kawan baru saya. :)
Ini dia mereka :)

Argo : Meminjam istilahnya Rizka, ini orang kayaknya makan orok deh, atau malah sepeda apa ya? Speednya itu cepat sekali. Dia selalu berada paling depan dan sampai paling duluan. Dia motivator yang baik. Tidak bosan-bosan memberi semangat selama perjalanan ke puncak. Malah dia banyak memberi saya dorongan (beneran ini badan saya didorong sama Argo dari belakang) kalau speed saya menurun. Hahaha.

Avan : Saya ternyata satu kampung dengan Avan : Tulung Agung. Avan adalah si pintar yang ngejagain semua teman-temannya. Defaultnya, dia selalu ada paling belakang memastikan semuanya ok. Auranya aura yang menenangkan. Secapek-capeknya saya, kalau ada dia saya yakin saya bersama orang yang tepat. Cerdik dan pintar, keliatan banget pas musti bikin bivak waktu krisis tenda. PRAMUKA banget deh.

Dito : Protektif dan selalu memastikan semua orang aman. Kalau belum pingsan, dia ga akan berhenti ngasih pertolongan ke orang di sekitarnya. Dia juga pemberi semangat kalau kita semua udah drop karena kecapekan. Selain punya banyak fans di luar sana, doi jago masak nasi goreng loh. Salut dengan energi dan konsistensinya buang air secara teratur selama kita di Rinjani. Hahaha.

Fajrin : Satu-satunya perokok di rombongan ini. Orangnya santai agak-agak dodol. Bakat terpendamnya adalah bikin nutrijel pake kompor parafin. Setiap kali saya sewot dan marah-marah, orang ini pasti selalu menenangkan saya. Pembuka jalan dan sweeper favorit saya di trip ini. Karena obrolannya suka bego,  kalau sama dia kerjanya ketawa melulu.

Larissa : The angel of the team. Gayanya cool, sedikit bicara banyak berbuat. Jarang mengeluh kecuali soal makanan dan soal boker. Hahaha. Larissa itu super care dengan sekelilingnya. Kita bisa makan enak dengan bahagia selama trip ini berkat Larissa. Secapek apapun, dia pasti dengan sabar akan masak dan nyiapin makanan buat kita semua. Pokoknya kita semua sepakat jadi fansnya Larissa deh. Hahaha.

Rizka : Idola anak-anak sipil ini adalah keren sekali. Saya suka gayanya, dan cariernya adalah yang paling enak dipake hehehe.  Kita ga bakal tau apakah dia udah capek banget atau ada yang sakit atau gimana karena dia jarang ngeluh. Dia selalu menyemangati saya di saat saya uda mau nyerah. Satu kata-katanya yang saya ingat "Udahlah ga usah dipikirin beratnya, dijalanin aja juga nanti selesai." I do wish I can have such a chill point of view everytime I have a problem.

Rena : PANTANG MENYERAH! Rena adalah mood buster saya dan berjasa besar membuat saya bisa sampai ke puncak Rinjani. Sebagai sesama pasukan tepar, saya betul-betul mengagumi kemauan kerasnya untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Rena juga pembawa aura ceria di kelompok ini. Ada rena pasti rame dan banyak bahan obrolan :)

Vincent : Ibarat keluarga, kalau Rena ibu rumah tangga, maka Vincent itu bapak supirnya. *loh. Hahaha. Bercanda cent. :p* Vincent itu super perhatian. Secapek apa pun diam-diam dia care dengan teman-temannya. Contohnya  ya ngingetin soal lampu senter yang makin redup dan sepertinya butuh ganti baterai, atau mencermati obrolan cewek-cewek di dalam tenda. Saya juga salut dengan ketegarannya menyelesaikan trip ini dalam kondisi lutut cedera. Bravo Vincent!

Ki - ka : Larissa - Dito - Avan - Argo - Fajrin - Rizka - Rena - Vincent - Gita


Ya begitulah kira-kira.

Saya pulang dari Rinjani dengan banyak pertanyaan dan bahan renungan di kepala saya. Berada di gunung membuat saya bertanya-tanya: apa lagi yang ingin saya lakukan? Apakah kehidupan sekarang ini benar-benar yang saya inginkan? Atau apa? Perasaan galaunya lebih spiritual sih. Banyak momen meditatif yang saya rasakan di perjalanan ini. Jalan menelusuri padang savana atau menyusuri tebing pinggir danau itu memberi kamu banyak ruang untuk berdiskusi dengan alam, dan terlebih dengan sang Pencipta.

Photographed by Larissa Salaki


Paling utama dan paling kena ya soal sabar itu. Sebagai orang yang ga sabaran dan gampang marah, saya cukup tertampar sih. Perjalanan ini mengingatkan saya untuk lebih bersabar dengan apa pun masalah yang saya hadapi. Seberat apa pun cobaan yang kita dapat, sabar memang kuncinya. Tebing seterjal apapun, tanjakan semiring apapun, jalan sejauh apapun, kalau sabar dijalanin ntar juga bakal terlalui.

Banyak pertanyaan plus masalah hidup di kepala saya yang kalau dipikir-pikir jawabannya adalah sabar. Contohnya, susah move on, ya sabar aja nunggu ganti yang baru. Hahaha. Tetep ya ke situ-situ lagi.  :p

Besok sudah masuk kerja, kembali ke realita. Semoga besok saya bisa jadi orang yang lebih sabar dan juga lebih menyenangkan, ga garing, ga galak dan ga banyak gaya. AMIN!


4 komentar:

Hanifah mengatakan...

git... lo lucu kokkk,, gak garing.. suwerrr.. :D

gitaditya mengatakan...

Eh ada hanicong! makasih loh.. Kapan jadwal lahiranyaaa? :D:D

Dennis Lim mengatakan...

Ranjani memang super.. pengen balik kesana lagi suatu hari nanti

gitaditya mengatakan...

Iya :) Tahun depan ingin ke sana lagi. Kemarin masih belum kesampaian ke danau Segara Anak dan air terjunnya.

Tiga Puluh Tujuh

Sepuluh tahun berlalu sejak tulisan ini Dan ternyata di ulang tahun ke tiga puluh tujuh ini, gw masih meminta hal yang sama. Semoga diberi k...