Ini bukan review konser. Kalau mau cari review yang membahas aspek musikalitas Melancholic Bitch, google lebih pandai menjawab. Tidak usah dipertanyakan lagi kok. Mereka adalah band indonesia dengan live performance paling OK yang pernah saya tonton. Di beberapa lagu malah kayak dengerin CD.
Balik lagi. Jadi ini bukan tulisan tentang review konser Melbi. Ini adalah cerita bagaimana saya menonton konser Menuju Semesta band Melancholic Bitch. Ok. Ini cenderung mengarah ke curhat. Hahaha. 87,95% curhat sih.
Saya suka semua lagu Melbi! Ga ada yang ga saya suka, adanya cuma lagu-lagu yang jarang saya dengarkan. Jarang didengar bukan berarti tidak suka kan. Hehehe. Selain liriknya yang menurut saya kuat dan ga gampangan, musiknya juga kaya akan bunyi, bukan musik gampangan. Dari awal saya kenal band ini, teman saya sudah bilang bahwa band ini stage performancenya ok punya. Sayangnya mereka ini jarang tampil, sekali-kalinya konser eh konsernya di Jojga. Agak sulit buat saya datang ke Jogja. Hehehe. Belakangan saya baru tahu mereka jarang ngegigs karena anggotanya terpencar-pencar baik secara lokasi maupun fokus hidup (?) hahaha. Dengan latar belakang seperti itu, waktu saya dengar melbi akan ngegigs akhir Mei di Bandung, langsung ga pake mikir pokoknya harus nonton!
Saya pernah bercerita soal Melancholic Bitch di sebuah postingan tahun 2011. Di tulisan itu saya bercerita soal orang yang memperkenalkan saya pada simelbi ini. Nah itu adalah mantan saya. Hahaha. Dia ini yang menginfokan gigs melbi ini (tapi saya juga uda tau kok dari twitter haha) plus berbaik hati membelikan tiketnya. Hehehe. Dulu waktu masih pacaran, kita punya kaos pasangan gitu. Tulisannya Joni dan Susi. Karena judulnya hubungan saya dan mantan saya adalah "mantan-tapi-kenapa-masih-seperti-orang-pacaran" maka kami berdua sepakat untuk menggunakan kaos ini pada saat menonton konser.
Seminggu sebelum konser, saya dan mantan saya ini semacam bertengkar. Hmm bukan bertengkar sih, tapi semacam ingin mengakhiri semua yang sudah seharusnya berakhir setelah ada beberapa kejadian kecil di sana sini. Tapi mengakhiri ini semua tidak gampang. Rumitlah. Jadinya malah ribut. Saya sempat berpikir untuk tidak jadi nonton konser. Ditambah lagi bahwa hari Sabtu, sehari setelah konser, saya sudah harus berada lagi di Jakarta jam sepuluh pagi. Itu artinya saya harus kembali ke Jakarta sesaat setelah konser atau pagi-pagi sekali jam tujuh pagi. Terlalu melelahkan.
Ketika saya utarakan pembatalan saya untuk menonton konser, mantan saya ini mengirim saya pesan digital.
"Aku pengen konser melbi besok di bandung jadi outro hubungan kita. Setelah itu, kita hidup di jalan masing-masing. Kalaupun nanti pada suatu saat kita bertemu di kelokan tertentu, biarlah semesta yang mengatur. Aku memohon sama kamu, kita nonton melbi berdua."
Oke. Baiklah. Setelah saya pikir baik-baik, rasanya konyol juga kesempatan (yang mungkin) sekali seumur hidup nonton melbi disia-siakan cuma gara-gara masalah hati macam ini.
Dengan perasaan tidak menentu akhirnya rencana nonton konser tetap dilaksanakan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana canggungnya nanti. Saya berusaha fokus ke melbinya. Seminggu itu kerja saya hanya mendengarkan lagu-lagu melbi saja. Siap-siap nyanyi bareng. Kebetulan juga tanggal 31 May itu saya ada pekerjaan di Bandung, jadi hari Jumat pagi saya sudah meluncur ke Bandung. Janji memakai kaos Susi juga saya penuhi. Sepanjang perjalanan ke Bandung, saya memutar CD Balada Joni dan Susi.
Untuk menetralisir emosi saya supaya tidak terlalu galau menggebu tidak jelas, sore sekitar jam empat sebelum menuju venue konser, saya putuskan untuk lari dulu keliling kampus. Kalau saya merasa kesal atau sedih, lari cukup membantu saya menetralisir energi negative. Sekitar jam enam saya selesai berlari, tapi yang bikin gemes adalah sekarang itu wc kampus jumat sore udah pada dikunciin semua. Akibatnya saya tidak bisa mandi setelah banjir keringat keliling kampus lima kali. Itu lari sekitar lima belas kilo dan saya basah berkeringat plus bau. Hahaha. Berbekal handuk dan aqua, saya mandi koboy lalu ganti baju.
Sampai di venue, bersama dengan mantan, kita percaya diri berjalan dengan baju Joni dan Susi. Perasaan sih, selama di situ kita berdua mendapat tatapan "Eh ada orang pake kaos Joni dan Susi. Itu mereka pasti ngefans banget sama melbi". Hahaha. Sempet ada mas-mas dengan kamera super bagus yang mengabadikan kita berdua loh. Hahaha. Dan entah mengapa ya, tiba-tiba semua masalah menghilang saja. Saya ternyata tidak merasa galau, saya sangat sangat sangat excited dan tidak sabar menonton Melbi.
Konser dimulai. Saya larut di semua lagu-lagunya. Livenya bagus. Ugo, sang vokalis, banyak bercerita untuk mengantar para pendengarnya ke setiap lagu. Joni dan Susi jadi tokoh sentralnya. Hal yang paling saya nikmati dan paling terasa bedanya dibanding gigs lain yang pernah saya tonton adalah kualitas suaranya. Saya bisa mendengar detail bunyi di setiap lagu dengan jernih. Saya sangat menikmatinya.
Saya puas sekali bernyanyi bersama para fans Melbi yang lain. Sampai tibalah suatu momen yang tidak saya duga duga sama sekali. Melbi mengalunkan intro Dystopia, dan ketika Ugo bertanya "Siapa yang tau lagunya?" saya seperti biasa ga pake mikir langsung tunjuk tangan. Daaaaaan, Ugo mengajak saya naik ke panggung.
OOOWEEEEMJIIIII!
*brace yourself : alay mode on*
INI SAYA MIMPI ATAU GIMANA BISA NYANYI BARENG SATU PANGGUNG DENGAN MELANCHOLIC BITCH !!!?
Ini benar-benar sesuatu banget. Jantung saya berdegup kencang, tangan saya gemetar dan tiba-tiba lirik lagunya bubar semua dari kepala saya. Hahaha. Itu adalah lima menit paling berkesan sepanjang 2013. Ugo seksi sekali! Setelah konser saya tanya-tanya katanya suara saya tidak terdengar :( Padahal kan ingin tahu, suara saya OK apa engga. Hehehe.
Dystopia. Kebalikan dari Utopia, sesuatu yang tidak ideal sama sekali. Lagu ini adalah lagu pertama yang diberikan mantan saya ketika kami pertama bertemu. Waktu itu saya mau pulang ke Jakarta dari Jogja naik kereta dan dia menyuruh saya mendengarkan lagu ini. Katanya karena saya pulang naik kereta dan lagu ini menyoal naik kereta. Hahaha. Selama menyanyi lagu ini perasaan saya campur aduk tidak keruan. Senang bukan main, gemetar plus tiba-tiba mellow mengingat sejarah lagu ini dalam kisah kasih asmara saya. Hahaha, bahasa apa ini.
Dan ya memang benar, hubungan saya dan mantan itu adalah dystopia. Bersama selamanya yang tidak akan kejadian.
Turun dari panggung setelah bernyanyi bersama Melbi membuat badan saya lemas dan kaki saya gemetar. Masih setengah tidak percaya. Ini terlalu semacam mimpi!
Di sesi kedua, ada Frau dan Sarasvati membuat konser ini semakin seksi. Dan semua lagu-lagu jenius Melbi dikumandangkan di sesi ini. Saya sangat menikmati "Mars Penyembah Berhala" dan "Noktah Pada Kerumunan". Nuansanya magis.
Singkat cerita, tiba-tiba sudah lagu terakhir saja : Menara. Ini adalah lagu penutup yang terlalu sempurna. Lirik lagu yang membuat saya bergidik terutama di bagian terakhir :"Tengadahlah Joni dan Susi" . Membuat saya benar-benar menyatu dalam kerumunan Susi. Saya tidak bisa melupakan visual malam itu. Suara yang menggema, asap, lampu-lampu, kerumunan. Mas Yoseph (eh bener ga sih, gitaris yang di sebelah kiri panggung) seksi sekali. Memainkan gitar sambil merokok malam itu menjadi definisi seksi baru buat saya. Hahahaha.
Dan selesai.
Joni dan Susi berakhir mati di cerita Balada Joni dan Susi. Dan inilah outro itu. Saya dan mantan saya mungkin adalah cerminan Joni dan Susi di dimensi yang lain. Memaksakan kabur ke dunia yang kami percayai ada tapi ternyata tidak ada. Dystopia. Kami tidak mencuri roti, tapi kami menghancurkan kesetimbangan sosial. Kami tidak digebuki polisi, tapi kami dihakimi oleh justifikasi sosial. Kami melawan arah dan pada akhirnya saya akhirnya menyerah. Mantan saya mungkin tidak, tapi saya memilih menyerah.
Dan ketika saya akhirnya menjadi batu, saya tidak tahu apakah nantinya mantan saya juga perlahan menjadi pisau. Sulit untuk terus berpegang pada hal-hal yang kita percaya ketika ternyata pilihan sikap kita hanya menyakiti orang-orang di sekitar kita. Egois tapi hal yang egois juga bukanlah hal yang mudah. Mendinginkan hati dan mengubahnya menjadi batu memiliki cerita sakitnya masing-masing. Saya meyakinkan diri saya. Seiring dengan berakhirnya lagu menara, berakhir juga pelarian ini. Outro.
Ketika lampu venue akhirnya dinyalakan, saya segera bergegas menuju mobil. Saya merasa sangat lelah. Kaki gemetar, perut lapar, emosi yang berputar-putar. Tadinya saya ingin minta tanda tangan dulu ke personil Melbi di backstage, tapi saya benar-benar merasa ngantuk dan lelah. Sudahlah, nyanyi bareng bersama mereka saja sudah lebih dari cukup. Jam sudah menunjukan pukul dua belas malam ketika saya menyelesaikan makan malam saya dan saya hanya punya waktu lima jam untuk tidur beristirahat sebelum menyetir kembali ke Jakarta.
Dan demikianlah cerita saya menonton konser melancholic bitch. Satu hal yang saya sadari malam itu, melbi mengajarkan tanggung jawab sosial dan konsekuensi dari "jatuh cinta". Dunia kita bukanlah hal yang manis dan membahagiakan, oleh karena itu cinta memberi solusi dengan kemampuannya membuka imajinasi baru, ruang baru untuk jatuh cinta : bercinta di luar angkasa! Tapi tetap saja itu solusi sementara. Jatuh cinta adalah awal dari konsep keluarga. Dan jatuh cinta ternyata tetap butuh makan. Mencuri tidak menyelesaikan masalah. Keadilan semacam mitos. Kemiskinan adalah betul ada. Dan ketika konsep awal akan konsekuensi dari berkeluarga itu tidak berpondasi benar, maka kekacauan menanti di tahun-tahun ke depan.
Hahaha, ini interpretasi saya kok dodol begini ya.
Sampai sekarang, saya masih tidak bosan-bosannya mendengarkan Noktah Pada Kerumunan dan Menara. Dua lagu itu tiba-tiba terasa sangat sangat spiritual, hahahaha. Dan menurut saya demikianlah seharusnya ketika musik diciptakan dengan sepenuh hati. Dia sedemikian rupa bisa merasuk sampai ke dalam dan seolah menjadi soundtrack hidup seseorang, dalam hal ini : saya.
Sekali lagi terimakasih Melancholic Bitch. Bersama-sama kamu saya jatuh cinta, dan bersama-sama kamu juga saya putus cinta. Eh engga juga sih, ini bukan putus cinta. Ini belajar untuk berhenti terjatuh lebih dalam lagi. Outro untuk sebuah pelarian yang memang sudah harus selesai.
Balik lagi. Jadi ini bukan tulisan tentang review konser Melbi. Ini adalah cerita bagaimana saya menonton konser Menuju Semesta band Melancholic Bitch. Ok. Ini cenderung mengarah ke curhat. Hahaha. 87,95% curhat sih.
Saya suka semua lagu Melbi! Ga ada yang ga saya suka, adanya cuma lagu-lagu yang jarang saya dengarkan. Jarang didengar bukan berarti tidak suka kan. Hehehe. Selain liriknya yang menurut saya kuat dan ga gampangan, musiknya juga kaya akan bunyi, bukan musik gampangan. Dari awal saya kenal band ini, teman saya sudah bilang bahwa band ini stage performancenya ok punya. Sayangnya mereka ini jarang tampil, sekali-kalinya konser eh konsernya di Jojga. Agak sulit buat saya datang ke Jogja. Hehehe. Belakangan saya baru tahu mereka jarang ngegigs karena anggotanya terpencar-pencar baik secara lokasi maupun fokus hidup (?) hahaha. Dengan latar belakang seperti itu, waktu saya dengar melbi akan ngegigs akhir Mei di Bandung, langsung ga pake mikir pokoknya harus nonton!
Saya pernah bercerita soal Melancholic Bitch di sebuah postingan tahun 2011. Di tulisan itu saya bercerita soal orang yang memperkenalkan saya pada simelbi ini. Nah itu adalah mantan saya. Hahaha. Dia ini yang menginfokan gigs melbi ini (tapi saya juga uda tau kok dari twitter haha) plus berbaik hati membelikan tiketnya. Hehehe. Dulu waktu masih pacaran, kita punya kaos pasangan gitu. Tulisannya Joni dan Susi. Karena judulnya hubungan saya dan mantan saya adalah "mantan-tapi-kenapa-masih-seperti-orang-pacaran" maka kami berdua sepakat untuk menggunakan kaos ini pada saat menonton konser.
Seminggu sebelum konser, saya dan mantan saya ini semacam bertengkar. Hmm bukan bertengkar sih, tapi semacam ingin mengakhiri semua yang sudah seharusnya berakhir setelah ada beberapa kejadian kecil di sana sini. Tapi mengakhiri ini semua tidak gampang. Rumitlah. Jadinya malah ribut. Saya sempat berpikir untuk tidak jadi nonton konser. Ditambah lagi bahwa hari Sabtu, sehari setelah konser, saya sudah harus berada lagi di Jakarta jam sepuluh pagi. Itu artinya saya harus kembali ke Jakarta sesaat setelah konser atau pagi-pagi sekali jam tujuh pagi. Terlalu melelahkan.
Ketika saya utarakan pembatalan saya untuk menonton konser, mantan saya ini mengirim saya pesan digital.
"Aku pengen konser melbi besok di bandung jadi outro hubungan kita. Setelah itu, kita hidup di jalan masing-masing. Kalaupun nanti pada suatu saat kita bertemu di kelokan tertentu, biarlah semesta yang mengatur. Aku memohon sama kamu, kita nonton melbi berdua."
Oke. Baiklah. Setelah saya pikir baik-baik, rasanya konyol juga kesempatan (yang mungkin) sekali seumur hidup nonton melbi disia-siakan cuma gara-gara masalah hati macam ini.
Dengan perasaan tidak menentu akhirnya rencana nonton konser tetap dilaksanakan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana canggungnya nanti. Saya berusaha fokus ke melbinya. Seminggu itu kerja saya hanya mendengarkan lagu-lagu melbi saja. Siap-siap nyanyi bareng. Kebetulan juga tanggal 31 May itu saya ada pekerjaan di Bandung, jadi hari Jumat pagi saya sudah meluncur ke Bandung. Janji memakai kaos Susi juga saya penuhi. Sepanjang perjalanan ke Bandung, saya memutar CD Balada Joni dan Susi.
Untuk menetralisir emosi saya supaya tidak terlalu galau menggebu tidak jelas, sore sekitar jam empat sebelum menuju venue konser, saya putuskan untuk lari dulu keliling kampus. Kalau saya merasa kesal atau sedih, lari cukup membantu saya menetralisir energi negative. Sekitar jam enam saya selesai berlari, tapi yang bikin gemes adalah sekarang itu wc kampus jumat sore udah pada dikunciin semua. Akibatnya saya tidak bisa mandi setelah banjir keringat keliling kampus lima kali. Itu lari sekitar lima belas kilo dan saya basah berkeringat plus bau. Hahaha. Berbekal handuk dan aqua, saya mandi koboy lalu ganti baju.
Sampai di venue, bersama dengan mantan, kita percaya diri berjalan dengan baju Joni dan Susi. Perasaan sih, selama di situ kita berdua mendapat tatapan "Eh ada orang pake kaos Joni dan Susi. Itu mereka pasti ngefans banget sama melbi". Hahaha. Sempet ada mas-mas dengan kamera super bagus yang mengabadikan kita berdua loh. Hahaha. Dan entah mengapa ya, tiba-tiba semua masalah menghilang saja. Saya ternyata tidak merasa galau, saya sangat sangat sangat excited dan tidak sabar menonton Melbi.
Konser dimulai. Saya larut di semua lagu-lagunya. Livenya bagus. Ugo, sang vokalis, banyak bercerita untuk mengantar para pendengarnya ke setiap lagu. Joni dan Susi jadi tokoh sentralnya. Hal yang paling saya nikmati dan paling terasa bedanya dibanding gigs lain yang pernah saya tonton adalah kualitas suaranya. Saya bisa mendengar detail bunyi di setiap lagu dengan jernih. Saya sangat menikmatinya.
Saya puas sekali bernyanyi bersama para fans Melbi yang lain. Sampai tibalah suatu momen yang tidak saya duga duga sama sekali. Melbi mengalunkan intro Dystopia, dan ketika Ugo bertanya "Siapa yang tau lagunya?" saya seperti biasa ga pake mikir langsung tunjuk tangan. Daaaaaan, Ugo mengajak saya naik ke panggung.
OOOWEEEEMJIIIII!
*brace yourself : alay mode on*
INI SAYA MIMPI ATAU GIMANA BISA NYANYI BARENG SATU PANGGUNG DENGAN MELANCHOLIC BITCH !!!?
Ini benar-benar sesuatu banget. Jantung saya berdegup kencang, tangan saya gemetar dan tiba-tiba lirik lagunya bubar semua dari kepala saya. Hahaha. Itu adalah lima menit paling berkesan sepanjang 2013. Ugo seksi sekali! Setelah konser saya tanya-tanya katanya suara saya tidak terdengar :( Padahal kan ingin tahu, suara saya OK apa engga. Hehehe.
Dystopia. Kebalikan dari Utopia, sesuatu yang tidak ideal sama sekali. Lagu ini adalah lagu pertama yang diberikan mantan saya ketika kami pertama bertemu. Waktu itu saya mau pulang ke Jakarta dari Jogja naik kereta dan dia menyuruh saya mendengarkan lagu ini. Katanya karena saya pulang naik kereta dan lagu ini menyoal naik kereta. Hahaha. Selama menyanyi lagu ini perasaan saya campur aduk tidak keruan. Senang bukan main, gemetar plus tiba-tiba mellow mengingat sejarah lagu ini dalam kisah kasih asmara saya. Hahaha, bahasa apa ini.
Dan ya memang benar, hubungan saya dan mantan itu adalah dystopia. Bersama selamanya yang tidak akan kejadian.
Turun dari panggung setelah bernyanyi bersama Melbi membuat badan saya lemas dan kaki saya gemetar. Masih setengah tidak percaya. Ini terlalu semacam mimpi!
Di sesi kedua, ada Frau dan Sarasvati membuat konser ini semakin seksi. Dan semua lagu-lagu jenius Melbi dikumandangkan di sesi ini. Saya sangat menikmati "Mars Penyembah Berhala" dan "Noktah Pada Kerumunan". Nuansanya magis.
Singkat cerita, tiba-tiba sudah lagu terakhir saja : Menara. Ini adalah lagu penutup yang terlalu sempurna. Lirik lagu yang membuat saya bergidik terutama di bagian terakhir :"Tengadahlah Joni dan Susi" . Membuat saya benar-benar menyatu dalam kerumunan Susi. Saya tidak bisa melupakan visual malam itu. Suara yang menggema, asap, lampu-lampu, kerumunan. Mas Yoseph (eh bener ga sih, gitaris yang di sebelah kiri panggung) seksi sekali. Memainkan gitar sambil merokok malam itu menjadi definisi seksi baru buat saya. Hahahaha.
Dan selesai.
Joni dan Susi berakhir mati di cerita Balada Joni dan Susi. Dan inilah outro itu. Saya dan mantan saya mungkin adalah cerminan Joni dan Susi di dimensi yang lain. Memaksakan kabur ke dunia yang kami percayai ada tapi ternyata tidak ada. Dystopia. Kami tidak mencuri roti, tapi kami menghancurkan kesetimbangan sosial. Kami tidak digebuki polisi, tapi kami dihakimi oleh justifikasi sosial. Kami melawan arah dan pada akhirnya saya akhirnya menyerah. Mantan saya mungkin tidak, tapi saya memilih menyerah.
Dan ketika saya akhirnya menjadi batu, saya tidak tahu apakah nantinya mantan saya juga perlahan menjadi pisau. Sulit untuk terus berpegang pada hal-hal yang kita percaya ketika ternyata pilihan sikap kita hanya menyakiti orang-orang di sekitar kita. Egois tapi hal yang egois juga bukanlah hal yang mudah. Mendinginkan hati dan mengubahnya menjadi batu memiliki cerita sakitnya masing-masing. Saya meyakinkan diri saya. Seiring dengan berakhirnya lagu menara, berakhir juga pelarian ini. Outro.
Ketika lampu venue akhirnya dinyalakan, saya segera bergegas menuju mobil. Saya merasa sangat lelah. Kaki gemetar, perut lapar, emosi yang berputar-putar. Tadinya saya ingin minta tanda tangan dulu ke personil Melbi di backstage, tapi saya benar-benar merasa ngantuk dan lelah. Sudahlah, nyanyi bareng bersama mereka saja sudah lebih dari cukup. Jam sudah menunjukan pukul dua belas malam ketika saya menyelesaikan makan malam saya dan saya hanya punya waktu lima jam untuk tidur beristirahat sebelum menyetir kembali ke Jakarta.
Dan demikianlah cerita saya menonton konser melancholic bitch. Satu hal yang saya sadari malam itu, melbi mengajarkan tanggung jawab sosial dan konsekuensi dari "jatuh cinta". Dunia kita bukanlah hal yang manis dan membahagiakan, oleh karena itu cinta memberi solusi dengan kemampuannya membuka imajinasi baru, ruang baru untuk jatuh cinta : bercinta di luar angkasa! Tapi tetap saja itu solusi sementara. Jatuh cinta adalah awal dari konsep keluarga. Dan jatuh cinta ternyata tetap butuh makan. Mencuri tidak menyelesaikan masalah. Keadilan semacam mitos. Kemiskinan adalah betul ada. Dan ketika konsep awal akan konsekuensi dari berkeluarga itu tidak berpondasi benar, maka kekacauan menanti di tahun-tahun ke depan.
Hahaha, ini interpretasi saya kok dodol begini ya.
Sampai sekarang, saya masih tidak bosan-bosannya mendengarkan Noktah Pada Kerumunan dan Menara. Dua lagu itu tiba-tiba terasa sangat sangat spiritual, hahahaha. Dan menurut saya demikianlah seharusnya ketika musik diciptakan dengan sepenuh hati. Dia sedemikian rupa bisa merasuk sampai ke dalam dan seolah menjadi soundtrack hidup seseorang, dalam hal ini : saya.
Sekali lagi terimakasih Melancholic Bitch. Bersama-sama kamu saya jatuh cinta, dan bersama-sama kamu juga saya putus cinta. Eh engga juga sih, ini bukan putus cinta. Ini belajar untuk berhenti terjatuh lebih dalam lagi. Outro untuk sebuah pelarian yang memang sudah harus selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar