Selasa, 11 Juni 2013

Bandung pada Sebuah Pukul 21:14

Kota Bandung setelah hujan pada sebuah pukul 21:14 adalah dingin. Mungkin karena habis hujan, mungkin karena kesendirian, hanya saya yang tahu tapi lebih memilih pura-pura tidak tahu.

Menatap layar laptop yang berpendar putih biru, jadwal pekerjaan yang tidak sesuai dengan jadwal keriaan. Kepala berpikir keras bagaimana caranya membuat semua hal bisa terlihat baik-baik saja. Hidup memang keras dan bila demikian kenapalah saya masih mengeluh virtual semacam ini.

Pernahkah berada satu kota dengan seseoang yang entah mengapa terasa istimewa dan tanpa alasan yang cukup jelas kamu ingin, ingin sekali menghabiskan waktu bersama : sekedar minum kopi atau mungkin nge-beer atau mungkin nge-wine dan ngobrol apa saja ini itu segala rupa? Tetapi oh tetapi kamu tidak punya keberanian untuk memberitahukan keberadaanmu di kota itu. Tidak kuat membayangkan pesan yang tidak kunjung dibalas, atau penolakan halus seperti "Gw lagi lembur" atau "Gw capek banget". Atau lebih jauh lagi, kamu merasa kamu bukan siapa-siapa dan tidak punya hak untuk sekedar memberi pesan memberitahukan keberadaan dan memberi ajakan ngopi jam sembilan malam. Padahal kamu begitu menanti-nantikan berpergian ke kota itu karena keberadaan si orang yang entah mengapa terasa istimewa bagimu.

Atau ini.

Pernahkah merasa sesuatu yang tidak terdefinisi pada seseorang yang pada akhirnya cuma membuat kamu menangis tengah malam dan lagi lagi tanpa alasan? Tidak terdefinisi karena kamu tidak tahu harus bagaimana lagi. Membenci sudah, membunuh sudah, tapi kenapa masih terasa semburat halus di dada ketika kamu akhirnya melihat wajahnya lagi setelah sekian lama tidak berjumpa? Ada hal-hal sederhana yang memang akan selalu meluluhkan hatimu yang tidak akan pernah berubah sekalipun justifikasi material sosial kultural telah menghujanimu ratusan hari dan memaksamu berteduh, insaf mengikuti arus. Kamu bertanya-tanya : bisakah jatuh cinta sejatuh ini lagi? Mencoba mengerti tanpa jendela dan tanpa segelas soda, tapi kemudian tidak bisa lagi tetap tinggal di sini. Kamu perlu mendengarkan Tentang Cinta - nya Melancholic Bitch untuk paham kalimat barusan. Hahahaha.

Menstruasi hari pertama yang dibarengi dengan kram perut akan saya jadikan satu-satunya alasan utama tulisan curhat level seribu ini. Seorang diri di Bandung di jam-jam segini bukanlah hal yang saya ingin jalani malam ini. Tapi manusia kan lahir dan mati seorang diri, mengapakah harus merasa gamang dengan ini. Saya selalu percaya bahwa hidup selalu selangkah lebih maju, menunjukan jalan-jalan yang tersembunyi di dalam warna. Dengan keheningan jiwa dan kebijaksanaan hati, mungkin saya bisa melihatnya dan tidak merasa resah lagi. Keheningan jiwa. Kebijaksanaan hati.

Bandung, tiga puluh lima menit setelah puukul 21:14.
Masih terasa dingin.

1 komentar:

Bilik Sukma mengatakan...

ais.. ais.. aiss... numpang baca.. salam kenal ya.. :)

Tiga Puluh Tujuh

Sepuluh tahun berlalu sejak tulisan ini Dan ternyata di ulang tahun ke tiga puluh tujuh ini, gw masih meminta hal yang sama. Semoga diberi k...