Ini adalah cerita perjalanan saya, Inu dan Bita ke pulau Sumba bulan Mei lalu. Cerita hari pertama bisa
dibaca di sini.
Hari kedua di Pulau Sumba dibuka dengan bangun kesiangan dan melewatkan sunrise. Padahal penginapan kita tepat berada di pinggir pantai. Tapi tidak mengapa, masih ada satu malam lagi di penginapan ini.
Sesuai janji dengan Markus tadi malam, pagi itu kita bertemu di persimpanagan dekat SPBU kota Tambolaka. Ternyata Markus membawa dua orang tamunya. Dia bilang kita bisa bersama-sama pergi ke beberapa tempat. Karena sopir dari mobil sewaan kami masih kurang familiar dengan jalan di Tambolaka, kami mengekor mobilnya Markus.
Tujuan pertama hari ini : Rumah Budaya Sumba
|
Museum Rumah Budaya Sumba |
Di museum ini kita bisa mendapatkan beberapa informasi mengenai kebudayaan Sumba, karena ternyata di Sumba ini ada banyak suku dengan adat istiadat yang berbeda-beda. Sayang di dalam museum ini kita tidak diperbolehkan mengambil foto.
Di dalam museum ini kita bisa melihat beberapa jenis kain tenun dari berbagai macam suku. Orang Sumba juga telah mengenal perhiasan yang terbuat dari logam seperti gelang, kalung dan juga sisir. Kita juga bisa melihat beberapa alat musik, peralatan memasak yang dibuat dari tanah liat dan juga peralatan bertani seperti alat memeras tebu, alat berburu, palang gerbang rumah adat dan juga alat pacu untuk upacara Pasola.
Museum ini didirikan oleh Pastor Robert Ramon pada tahun 2010. Penanggung dananya adalah seorang wanita yang menduduki posisi cukup tinggi di produksi air mineral Aqua. Tapi kita tidak diberitahu siapa namanya. Salut saya untuk ibu manajer ini atas usahanya untuk melestarikan budaya Sumba lewat museum ini. Ohiya, di dekat museum ini juga ada sbeuah gereja katolik yang sedang direnovasi.
Setelah meninggalkan museum, kami menjemput dulu seorang teman Markus yang bernama Kitty. Kitty bergabung dengan mobil kami, tujuannya supaya mobil kami tidak terlalu bergantung dengan mobil Markus kalau-kalau ternyata nyasar.
Lanjut ke tujuan ke dua, tujuan yang paling dinanti-nantikan semua orang :
Danau Wekuri!
Perjalanan ke Danau Wekuri ini memakan waktu lebih lama dari yang kami kira : 2 jam saja sodara sodara! Padahal kalau lihat di peta, tempatnya harusnya ga jauh-jauh amat. Infrastruktur di Sumba Barat ini memang masih jauh dari ideal. Jalan yang harus ditempuh menuju ke Danau Wekuri masih berupa jalan setapak yang pas-pasan untuk dilewati mobil. Karena masih setapak, mobil tidak bisa melaju kencang. Maksimal 20 km/jam. Sepanjang jalan juga tidak ada petunjuk arah, sinyal GPS, ataupun lampu jalan. Saya pribadi sedikit agak parno kalau-kalau kita kesasar, karena sopir nya agak kurang meyakinkan. Huhuhu.
|
Kebayang ga menelusuri jalan seperti ini selama lebih dari 1,5 jam tanpa sinyal GPS |
Waktu sudah menunjukan pukul setengah 12 ketika kami tiba di Danau Wekuri. Dan perjalanan dua jam yang sedikit menegangkan itu terbayar sudah.
Kalau katanya surga itu terpecah menyebar di penjuru dunia, maka Danau Wekuri adalah salah satu pecahannya.
|
Danau Wekuri |
|
clear sky, clear water, i couldnt ask for more |
Ketika kami sampai, ada empat orang asing yang juga sedang bersantai di pinggir danau. Ternyata salah satu dari mereka adalah orang yang menemukan danau ini! Jadi ceritanya, waktu mereka lagi naik pesawat terbang, dari atas mereka melihat ada danau. Lalu selama tiga hari dengan menggunakan kuda, mereka mencari tempat ini dan voila, di sinilah kami sekarang menikmati keindahan danau Wekuri :) Bule ini sempat menawarkan untuk main ke tempat mereka, katanya tidak jauh dari sini. Penasaran sih, karena seingatan saya, tidak ada apa-apa sepanjang perjalanan.
Air danaunya sangat jernih dan tenang, kita sampe bisa bikin video ini hahaha.
Setelah sekitar satu jam bermain-main di Danau Wekuri, kami pindah tempat ke tujuan berikutnya, yaitu pantai.
Pantai Mandorak
Letaknya tidak jauh dari Danau Wekuri, tidak sampai 10 menit naik mobil. Dan begitu kami sampai dan melihat pantainya, saya langsung teriak teriak kegirangan. Ini adalah pantai terindah yang pernah saya datangi :')
|
itu saya, yang udah kegirangan main main di pasir |
Pantai ini adalah pantai kecil yang dikelilingi oleh batu karang. Pasirnya haluuus banget. Airnya biru kehijauan. Dan, para nelayan juga menggunakan pantain ini sebagai tempat berangkat dan pulang melaut. Indah bangetlah pokoknya, udah ga tau harus ngomong apalagi.
|
I can spend my whole day just sitting here. Tapi habis itu gosong dan kulitnya kebakar sih. Hahaha. |
|
my version of heaven |
Pas kami bermain di situ, pas banget ada nelayan yang baru pulang melaut. Ini videonya :
Surga banget kan? Pantai ini dikelilingi bukit karang dan di sisi kiri pantai ini, tepatnya di atas bukit, ternyata ada semacam rumah. Sepertinya, ini adalah rumah yang dimaksud oleh bule yang kami temui di Danau Wekuri tadi. Tinggal di tepi pantai macam ini bagaimana rasanya ya..
|
Rumah di tepi bukit |
Dan, pantai ini adalah cocok untuk pose pose kalender. Hahaha. Saya dan Bita langsung bereksperimen dengan berbagai macam gaya hahaha.
|
Pose kesukaan hahaha. Sok iya banget ya. |
|
Our usual fail yoga pose hahaha |
Dan tentu saja kami juga tidak lupa membuat video 360 :D
We are soooo happy!
Dan demikianlah kesimpulan saya sejauh ini, bahwa potongan surga itu ada di Sumba, namanya Wekuri dan Mandorak. Dan mungkin potongan surga ini bisa tetap demikian karena keterbatasan akses ke sini. Coba bayangkan kalau sudah ada lapak-lapak indomie dan es kelapa di kiri kanannya, mungkin ga sesurga ini lagi.
Egois ga sih kalau Sumba dibiarkan seperti ini saja supaya tidak menjadi seperti Bali? Tapi kalau begitu, bagaimana dengan perkembangan sumber daya manusianya?
Jam sudah menunjukan pukul dua siang dan akhirnya kami memutuskan untuk bergerak ke tujuan selanjutnya, yaitu Desa Adat Ratenggaro dan Pantai Pero. Kami belum makan siang, dan perjalanan dari Pantai Mandorak ke panti Pero sebelas dua belas dengan perjalanan sebelumnya. Kiri kanan isinya hanya pohon dan semak belukar. Belum lagi ditambah kepanikan ketika di jalan yang sesempit itu tiba-tiba ada mobil datang dari arah berlawanan. Hahaha. Namun karena memang sudah sangat bersemangat, kami semua bisa menahan lapar.
Ok, supaya ga terlalu panjang dan capek bacanya, sampai di sini dulu saya. Cerita tentang Desa Adat Ratenggaro dan Pantai Pero akan saya ceritakan terpisah di postingan berikutnya yes! Layaknya rumah makan Padang, mohon sabar menanti hehehe.
[ ]