Aku sering melihatnya di terminal. Kulitnya hitam legam, badannya kurus berotot, mukanya penuh jerawat tapi sorot matanya tajam. Kali pertama aku memperhatikannya adalah ketika dia menjadi kenek bis yang aku tumpangi. Waktu itu dia hampir berkelahi dengan sopir bis yang lain karena rebutan penumpang. Bicaranya kasar dan suaranya keras. Aku kurang paham duduk perkaranya apa, tapi kejadian itu akhirnya berakhir dengan kami semua pindah ke bis yang lain. Aku ingat dia bersumpah serapah dengan kata-kata kasar dan jorok. Teriakannya menggelegar namun nyaring dan khas.
Kali kedua aku memperhatikannya adalah ketika dia sedang nongkrong di bawah jembatan penyebarangan tempat bis yang aku tumpangi ngetem. Dia sedang merokok dan tangannya asik bermain handphone. Aku langsung mengenali karena secara tidak sengaja kami beradu pandang. Aku segera ingat tatapan matanya yang dingin ketika dia hampir berkelahi tempo hari. Waktu itu aku bertanya-tanya. Apa ya yang dia pikirkan? Apakah dia sudah menikah? Apakah dia punya keluarga? Apakah dia hidup di jalanan? Apakah dia preman? Aku memperhatikan dia memakai kaos bergambar Harry Roesly. Apakah dia bisa bernyanyi atau main gitar atau main biola?
Tiba-tiba dia berdiri dan menuju ke pojokan. Dia buang air di pojokan itu. Aku perhatikan lagi celana jinsnya yang ketat dan ikat pinggang besarnya itu. Celana itu melorot di pantat dan aku bisa melihat boxernya berwana hijau kusam. Aku juga memperhatikan rambutnya yang dipotong dengan model asimetris. Inikah gaya alay yang dibicarakan adikku tadi pagi di rumah? Jadi dia termasuk golongan alay? Sesampainya aku di rumah, sesekali aku teringat dengan kenek itu. Tatapan mata dinginnya seolah menusukku sampai ke hati.
Kali ketiga aku memperhatikannya adalah ketika dia sedang menjadi kenek untuk bis dengan rute yang lain. Waktu itu aku sedang menunggu bis di depan kantorku. Tiba-tiba dia turun dari bis yang bukan rute biasanya. Dia turun untuk memberikan setoran ke preman setempat, membeli rokok dan segera pergi. Kemunculannya menarik perhatian orang di sekitar karena bis yang membawanya berhenti sembarangan dan mendapat klakson dari mobil-mobil lain. Dia memaki dengan kata-kata kasar. Suaranya menggelegar khas, berteriak sambil menggebrak badan bisnya. Sikapnya sungguh-sunguh bar-bar. Kalau tidak salah dengar, si penjual rokok sempat memanggilnya dengan sebutan Jek.Jadi itu mungkin namanya.
Setelah itu, lama aku tidak melihatnya lagi. Barulah awal tahun ini, ketika bis yang aku tumpangi ngetem di terminal menunggu penumpang, aku tak sengaja melihatnya di sebuah warung bersama seorang wanita yang tengah hamil dan mereka bergandengan tangan. Itukah istrinya? Apakah mereka menikah resmi? Apakah itu sebabnya dia tidak pernah ngenek lagi? Apa dia sekarang sudah jadi preman terminal ini? Selama bis yang kutumpangi ngetem, selama itu pula aku memperhatikannya. Dia terus menerus merokok di samping wanita hamil itu. Sekali-kali meludah dan berbicara dengan telfon genggamnya. Gayanya cocok benar jadi kepala preman terminal ini. Ketika aku asik mengamatinya, mata kami tiba-tiba beradu pandang. Rasanya dingin.
Sekitar sebulan kemudian ketika aku turun di terminal, ada gerombolan ramai orang berkumpul.
“Ada copet digebukin!”.
“Bego sih, nyopet di sini.”
Aku langsung merasa ngeri, tapi tetap saja ikut berkerumun berusaha melihat apa yang ada di tengah-tengah kerumunan itu. Walau tidak jelas, aku melihat ada orang yang sedang memukuli dan menendang orang yang satunya lagi. Orang yang ditendangi mengaduh-ngaduh memegang kepalanya yang berdarah . Suara mengaduhnya makin lama makin pelan, dan akhirnya hilang. Entah kenapa orang-orang yang berkerumun ini malah asik menonton saja.
“An***g lu t**k! Ng****t aja kerja lo b***!”
Teriakan itu terdengar begitu nyaring dan aku mengenali suara itu. Itu suara Jek.
Aku merinding. Jek ngapain? Apa dia yang menggebuki orang itu? Apa orang yang digebuki itu mati? Kapan perkelahian ini berhenti? Tiba-tiba ada suara lain lagi.
“Ada Polisi!”
Kerumunan tertib itu langsung panik. Sekonyong-konyong memang ada suara sirine polisi. Aku segera berjalan menjauhi kerumunan menuju arah rumah sambil beberapa kali menengok kembali ke arah kerumunan itu. Di tengah kekacauan itu, aku sekilas melihat Jek masih memegangi kerah baju si copet dan walau sesaat aku yakin, entah bagaimana caranya, bahwa kami sempat saling tatap. Rasanya masih dingin.
Setelah kejadian itu aku tidak pernah lagi melihat Jek. Sesekali di terminal aku kadang melihat wanita hamil yang bersama Jek waktu itu. Kadang dia bergandengan dengan orang lain, kadang sendiri. Oiya, anaknya sudah lahir. Sore ini aku melihat wanita itu dan anaknya duduk di warung terminal. Aku sengaja mampir hanya untuk melihat wajah anak itu. Dan berhasil. AKu berhasil menatap mata anak itu. Rasanya dingin.
***
Jakarta, 10042010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar